Rabu, 24 Juni 2015

Sebaris Bintang


Dibawah sorotan lampu taman , disekitar bunga bunga anyelir yang tertanam rapi membentuk sebuah pola lingkaran, seorang gadis sederhana membaringkan tubuhnya diatas rumput rumput yang membisu , matanya membinarkan sorotan sorotan tajam pada hamparan luas di hadapannya, gadis itu : Lucy, Ia  memandang kelangit malam , mendesahkan nafasnya lalu menikmati udara hangat yang menerpa tubuhnya. ia akan melakukan itu setiap  malam, sedikit kesenangan untuk menikmati bintang bintang, dalam kesendiriannya. 

Namun , sudah sebulan terakhir, langit tak menyuarakan harapannya , bintang yang biasanya bertaburan tanpa aturan kini lenyap , menghilang di telan kegelapan malam. Hanya ada sebaris bintang disana , dua pijaran sinar yang membentuk sebuah garis horizontal . Lucy kecewa, sebab semenjak ia mengenal malam dan kegelapan yang menakutkan, ribuan bintang selalu muncul untuk mengusir segala rasa takutnya akan kesendirian.  Dan semenjak saat itu Ia  mulai jatuh cinta pada bintang bintang dilangit, ia telah terlalu dalam menaruh hati pada gemerlapan malam yang membeku. Dan dibawah kolong langit tanpa batas, ia akan selalu menunggu bintang bintang menyapanya dikala malam tiba.  Tapi hari ini , entah mengapa bintang bintang bersembunyi, seolah olah mereka berencana untuk meninggalkan si gadis yang kesepian dalam kesendiriannya lagi ...

Drrr.. Drrr... 
Ayumi memeriksa handphone disaku bajunya, ada sebuah pesan singkat yang mengganggu konsentrasinya pada bintang-bintang. Sebuah Pesan dari Dean . Sahabatnya, pesan itu segera ia baca dengan sebelah alis terangkat.

Menghilang ya Nona ? 
Aku menunggu tepat didepan kostanmu,
Sebelum pintu itu aku dobrak, 
Muncullah !
-dean-

Lagi - lagi Ayumi mendesah ,, 
" Anak itu benar benar menyebalkan ! " Gerutunya, ia mengambil langkah berat untuk bangkit dan meninggalkan sebaris bintang yang setia menemaninya malam ini ,  ia melangkah pelan kembali kekediaman yang selalu ingin ia tinggalkan. Sepetak kamar kost yang ia tempati dua tahun belakangan ini. sepetak kamar yang luasnya tak lebih dari 5 meter , namun menampung jutaan kenangan yang selama ini menetap dihatinya. Kenangan yang penuh dan menyesakkan Seperti debu , ya.. Atau mungkin seperti rintik hujan di awal tahun. Atau barangkali.. Seperti jutaan bintang yang bersembunyi. Terlalu banyak dan tak terhingga.

Lucy menatap kelangit, sebaris bintang masih terlihat, ia tersenyum, beberapa meter darinya , seorang Pria tinggi berjacket kulit duduk diatas sepeda motor antiknya dengan satu kaki bertumpu pada kaki yang lainnya, Pria itu menghembuskan kepulan kepulan asap rokok keudara berulang ulang kali. Namun , begitu mata cokelatnya melihat sosok kecil berjalan mendekat , segera saja sebatang rokok yang masih panjang itu ia campakkan ketanah berumput. 

" Hai , nona! " Dean membuka tangannya lebar lebar , seolah olah ia akan mendapat sebuah pelukan hangat dari wanita yang tiba dihadapannya. 

" Dasar , Brengsek ! " Lucy memekik , sebuah pukulan keras ia hadiahkan untuk pria manis dihadapannya. 
" Kenapa menggangguku ?" Pekiknya." Pergi sana ! Temui siapapun yang seharusnya kau temui malam minggu begini , bukan aku ! " Lagi lagi sebuah pukulan ia hadiah kan keras tepat dipundak Dean. 

" Yakin ? " Dean menaikkan sebelah alisnya. " Nona kesepian tak butuh pangeran penghibur ? " Lagi lagi ia membuka kedua tangannya. Menunggu sebuah pelukan hangat. 

" Kau ingin aku lempar sandal ? " Ancam Lucy , ia mengambil ancang ancang perang . Mereka selalu seperti itu , bertingkah seperti anak anak di usia yang sebenarnya jauh sangat pantas dikatakan sebagai orang dewasa , ya .. Mereka telah dewasa . Persahabatan seorang pria dewasa dan wanita dewasa yang sedikit menyakitkan . Tentu saja , tak aneh jika dikatakan: Lucy pernah mencintai Dean , kebersamaan lah yang membuat perasaan itu semakin nyata, entah apakah Dean menyadari atau tidak namun Lucy tak pernah memberikan kesempatan bagi dirinya sendiri untuk mempertahankan perasaan itu. Ia tak ingin ada yang terlihat &terdengar oleh Dean terutama tentang perasaan ajaibnya.  

" Masih sakit ? " Dean merangkul pundak lucy , 

" Apa ? " Lucy menjawab dengan sedikit jutek , ia kesal . Kesal harus meninggalkan moment melihat bintang hanya untuk Sosok yang tak pernah melihatnya , melihat perasaannya lebih dalam seperti yang selalu ia inginkan. 

" Hatimu ? , hati nona kesepian ini ? " Dean berbisik, " maaf aku tak ada untukmu waktu kau kehilangan dia.." 

Lucy tak bergeming , ucapan dean membuka kembali jahitan jahitan benang tipis dihatinya, darah menyembur kembali , membanjiri seisi pertahanan di ujung matanya dan dengan sedikit sayatan kata kata itu  mendobrak kembali apa yang selama ini telah ia coba bentengi sebuah rasa kehilangan . 

" Pulanglah Dean ! " Ucap lucy pelan , nyaris tak terdengar. 

" Jangan begitu .. Jangan marah berlarut larut seperti itu pada sahabatmu ini .." Dean memelas ," aku datang jauh jauh kemari , meninggalkan kekasihku untukmu , aku tak ingin kembali dengan tangan kosong , setidaknya ada cerita yang ingin kudengar dari mu tentang dia. Lagi pula sudah lebih dari dua bulan kita tak saling berbagi cerita.. " 

" Cerita ? Untuk apa ? " Lucy memekik . 

" Agar aku tahu , seperti apa dia ,pria yang membuatmu begitu buruk saat ini ! " 

" Percuma ! Sebanyak apapun aku bercerita seperti apa dia, dia tidak akan hidup kembali ! Dia sudah mati ! " 

" Eh, Seriusan ?" Dean membuka matanya lebar lebar. 

" Aku harap ! " Lucy menunduk  kembali , " menganggap kalau dia sudah mati , aku merasa jauh lebih baik ! " 

" Seperti wajahmu ..sifatmu  benar benar menyeramkan Nona! "

PLETAK !! 
Kini Lucy membenturkan tangannya tepat di kening Dean.

" Sialan ! " Gerutu Dean. Ia mengelus ngelus keningnya yang tampak memerah. 

" Dari pada kelihatan menyedihkan,  Tampak menyeramkan akan sedikit membuatku terkesan baik !" Lucy mendesah . " Masuklah ... Agar kau bisa melihat betapa sakitnya aku !" 

Lucy berjalan meninggalkan Dean yang masih sibuk mengelus ngelung kepalanya, sementara itu dengan langkah yang malas , Lucy membuka  sebuah pintu dengan kunci yang dihiasi gantungan rajutan berbentuk capung dari saku celananya. 

KREK ! 
Pintu terbuka , lucy memejamkan mata lalu  melangkah masuk dengan perasaan malas.

" Cepat masuk bodoh ! " Lucy berteriak , ia melambaikan tangannya dengan cepat . Dean tersenyum dan menanggapai perintah, 

" Kau belum berubah lucy "bisik Dean pada hatinya. 

***

Sebuah kamar kost wanita, dengan sebuah ranjang tidur , sebuah meja belajar , sebuah lemari kecil, dan sebuah kenangan. 

Lucy melemparkan sekaleng minuman dingin yang ia ambil dari  lemari pendingin kecil yang terpojok disudut dinding kepada Dean. 

"  Dalam seminggu selalu ada satu hari dimana Risyi selalu mengisi segala keperluanku di lemari pendingin itu " lucy menerawang sambil sesekali meneguk minuman miliknya, " Ia tidak pernah bertanya apa yang habis, apa yang ingin aku simpan , ia cukup datang , memeriksa , lalu pergi dan kemudian kembali dengan semua yang ia pikir perlu untuk diberikan padaku " 

Dean mengangguk , " Hebat ! Kalau begitu Risyi  punya instiusi yang peka untukmu " Ucapnya singkat, 

" Setiap kali Risyi kemari, ia selalu duduk di kursi itu , " Lucy menunjuk sebuah kursi kayu di depan sebuah meja belajar yang menghadap kejendela. Sebuah kursi yang kini di duduki Dean, kursi yang dulu sering ia dean tempati juga. dean membelalakkan matanya. 

" Dikursi itu , ia selalu bercerita banyak hal tentang hari harinya yang melelahkan , namun tentang betapa ia lebih lelah karena merindukanku"

Dean tersenyum, " lucu ! " Gumannya , ada ringkikan tawa kecil dibibirnya. 

" Apanya yang lucu ? " Tanya lucy , Dean hanya menaikkan kedua alisnya, hal itu membuat Lucy melemparkan sebuah bantal merah muda berbentuk hati ke wajah dean .

" Rasa sakitmu, kau yang membuatnya sendiri ! " , Cetus Dean . 

" Ah , mana mungkin, aku tidak sebegitu berlebihan menjadi wanita ! " 

" Yah..Kalau kau tidak mau mengaku, aku pulang saja !" Tiba tiba dean beranjak bangkit dari kursi yang didudukinya. 

" Cepat sekali ? " Lucy memasang wajah heran. 

" Kau yang lamban ! " Ejek dean , " hatimu terlalu lamban untuk menyadari siapa pemiliknya !" 

" Apaan sih ? " Gerutu lucy . 

" Pria itu pergi , karena dia tau, Dia hanya berjuang untuk seseorang yang tak pernah berjuang atas dirinya. Selama ini Risyi memberi hatinya padamu, namun kau hanya memberi dirimu, lantas hatimu... Sudah dari dulu kau berikan padaku !" Pukas Dean , ia mengedipkan sebelah matanya. 

" Sudah , pulanglah sana ! Semakin malam bicaramu semakin melantur saja ! " Elak Lucy

" Lucy , Lucy, " Dean menarik senyum, " pria memang selalu tampak bodoh , tapi sesungguhnya pria tahu lebih banyak dari yang dapat kami lihat , " 

Lucy memejamkan mata , ia memukul kepalanya keras. 
" Oke baiklah ! " Lucy  berjalan mendekati Dean , " Tidak hanya tentang Risyi ,  Ruangan ini juga dipenuhi banyak kenangan tentangmu yang perlahan membusuk" Ucapnya lantang . 

" Semenjak kau sibuk dengan urusanmu, pekerjaannmu, karier mu dan wanita impianmu itu, aku memang selalu mengirim kabar bahwa aku butuh kau tapi sayangnya ,,kau mengacuhkan permintaan bertemu dari sahabat baikmu ini selama dua bulan, lalu jika  aku menemukan orang baru selama itu dan..Mmmmmmm" 
Kalimat Lucy terhalang oleh tangan Dean yang menutup mulutnya dengan keras. 

" Aku sudah tahu Nona ! Jangan membuat alasan alasan hanya untuk meninggikan harga dirimu, Lihat ... " Dean menunjuk kelangit malam . Memfokuskan arahnya pada dua  bintang yang bersinar dilangit malam. 

" itu kau dan .... Itu aku " Ucap dean , " seperti sebaris bintang dilangit malam, yang bersinar bersama, membentuk satu ikatan,  namun kebersamaan mereka bukan untuk dipersatukan" Dean memandang kelangit begitupun Lucy . 

" Aku kembalikan hatimu , " Dean memberikan bantal merahmuda berbentuk hati yang beberapa menit lalu lucy lemparkan padanya. " Aku tak dapat menjaganya lagi " bisiknya. 

" Kenapa ? " Tanya Lucy , matanya memandang pada langit malam yang meredup. 

" Karena hati itu sudah menuntut terlalu banyak dari apa yang pantas ia dapatkan ," Dean berjalan menuju sepeda motor yang ia parkir tak jauh dari pintu.

" Hey ! " Teriak Lucy. " Bawa kenanganmu pergi dari ruangan ini " 

" Tidak bisa nona ! " Dean menghidupkan mesin motornya, " biarkan saja kenangan itu tinggal dan membusuk hari demi hari, semoga saja aromanya akan membuatmu semakin muak padaku" 

Lucy tersenyum . 
" Baiklah ! Jaga dirimu baik baik dan pergilah sejauh jauhnya, aku tidak ingin suatu saat kau kembali karena kasian padaku lagi seperti malam ini"

Dean menggelengkan kepalanya, 
" kau tahu Nona, Bintang tak dapat pergi kemanapun, jika hari ini kau melihat bintang bintang menghilang , mungkin mereka hanya bersembunyi untuk menguji apakah kau masih setia menunggu sampai mereka kembali atau tidak sama sekali," dean menghidupkan mesin motornya. 

" Lalu apa kesimpulannya ? " Lucy mundur beberapa langkah , menyenderkan tubuhnya pada pintu. Ia melipat kedua tangannya didepan dada, sedikit menaikkan dagu dan bertingkah seolah olah dia cukup mampu untuk mendapat penolakan atas cinta yang tidak pernah dia utarakan.

Namun sekonyong konyong sebuah jawaban yang seharusnya lucy terima , Dean justru  melambaikan tangan dan menarik gas sepeda motornya dengan kuat

" Selamat tinggal Nona Kesepian. . . " Dean berlalu . Sepeda Motornya melesat kencang menembus kabut malam. Dean datang dan pergi dengan sesuka hatinya.  Lagi dan lagi. 

Lucy menghela Nafas, " Dasar Brengsek !" Batinnya. 
Dengan keras Lucy membanting pintu, lalu melemparkan tubuhnya keranjang , Ia ingin menjerit kesal, berteriak memaki maki dirinya sendiri. Namun Ujung matanya menangkap sesuatu yang tertinggal di atas meja belajarnya , sebuah kotak rokok kepunyaan dean. Lucy menjuntaikan tangannya meraih benda itu. 

" Dasar ! , bukannya membawa oleh oleh , tapi meninggalkan sampah ! " Gerutunya. 

" Ini ...." Lucy terdiam , ada sebuah hal yang membuat bibirnya tiba tiba terasa kelu. Mata lucy terbuka semakin lebar menatap sebaris kata yang tertulis di bagian dalam kotak rokok milik Dean itu. 

Bibirnya bergetar, Tangannya meremas kuat benda itu, ada butiran butiran cairan bening yang tergenang di pelupuk matanya. Seketika Ia berlari , berusaha mengejar sesuatu yang ia harap belum benar benar pergi. 
" DEAN .... " Lucy berteriak , " DEAN... " Panggilnya lagi. 
" Dasar Banci  !! " Umpatnya. Di tengah teriakan yang menggemakan malam , bulir bulir air mata menetes dan jatuh tepat di atas pipinya. Ia melirik kembali pada sebaris kata yang ia yakini ditulis oleh Dean . Sebuah tulisan kasar yang cukup berantakan , tapi sangat dapat ia baca dengan teramat mudah, sebaris kata yang menyiratkan perasaan kecewa. 

" Yang ku inginkan datang dan menetap, namun kau senantiasa memintaku untuk pergi "   

Disaat saat seperti ini , Handphone disaku lucy justru bergetar. Dengan kesal ia meraih dan menyahuti panggilan. 

" Jangan pergi lagi , tinggallah disisiku " ucap Lucy. Pada pria diseberang telpon. " Aku butuh kau bodoh ! " Ada isakan tangis diujung kalimat yang lucy ucapkan.

" Baik ! " Samar samar sebuah sahutan muncul di balik kegelapan malam , dengan langkah tenang Dean berjalan mendekati Lucy sambil menarik senyum tipis di bibirnya. 

" Aku meninggalkan kotak rokok ku, boleh aku ambil kembali ? " Dean mengulurkan tangan. 
Lucy menggeleng. 

" Kau yakin ? Itu bukan milikmu ? Kembalikan pada pemiliknya ! " Tambah dean , 

Lucy menggangguk, " bukan milikku , tapi tak akan aku serahkan pada orang lain ... " 

Dean tersenyum , Lucy mencoba menahan tangis dengan menggigit gigit ujung bibirnya.

" Aku butuh kau bodoh ! Kemarin, saat ini dan Nanti..". Kata kata yang lucy ucapkan akhirnya membuatnya  mengakhiri kesendiriannya selama ini, Dean memeluknya, pelukan persahabatan  yang kini menuju jalinan yang berbeda, Cinta. 

Meski dilangit malam sejuta bintang menghilang , Lucy menyadari bahwa dua bintang nyata , yang terlihat dan tergapai , akan lebih baik dari sejuta bintang yang hanya ada ketika semuanya baik baik saja. sebaris  bintang yang senantiasa hadir ketika dibutuhkan akan terasa jauh lebih indah. Begitupun Perasaan yang selama ini ia sembunyikan , Butuh segenap Luka dan rasa sakit untuk membuat Cinta berakhir dengan penuh bahagia. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar