I. Awal yang tak disangka
Gedung itu
menjulang tinggi kelangit, dinding kaca yang menyelimutinya seolah olah
menawarkan sebuah petualangan penuh muslihat didalamnya. Grace, Marvo, dan
Heryz memandang penuh takjub pada seisi kota yang baru mereka kunjungi, hiruk
pikuk dan penuh hinar binar itulah yang dapat mencerminkan sebuah sosok
ibu kota negara yang sedang mereka santroni saat ini, Sambil melangkah
menuju pintu yang dapat berputar di lobi gedung, ketika remaja itu saling
bergandengan pena, suatu cara yang selalu mereka gunakan untuk saling
berpegangan satu sama lain tanpa saling menyentuh.
" Kau
yakin ini tempatnya Ryz ?" remaja wanita dengan rambut bergelombang yang
diikat tinggi dan ditutupi topi hijau melirik pada Pria jangkung disebelahnya,
matanya menyipit untuk beberapa saat. Ia adalah si tomboy Grace Iyoku
" Ya,
alamat pada undangan ini tertera demikian ! " Heryz membetulkan letak
kacamatanya lalu membaca kembali sebuah alamat yang tertera pada selembar
kertas berwarna biru muda ditangannya, Ia mengangguk.
" kalau
begitu , apa lagi yang kita tunggu ? " Marvo remaja pria manis
dengan lesung pipit dan rambut yang berdiri berserakan bagaikan duri landak
menyikut heryz mencoba menyadarkan teman temannya, " kita sudah terlambat
satu jam , dan itu gara gara kau berdandan terlalu lama ! " Ia menunjuk
wajah Grace dengan kesal. Gadis tomboi itu tak tinggal diam.
" Aku ? ,
enak saja !" Grace menarik pena dari genggamannya, " kaulah
yang Berlagak sok tahu jalan, sehingga membuat kita nyasar ntah kemana ! "
Tudingnya, sementara Kedua remaja yang tak pernah akur itu saling menumpahkan
kesalahan , remaja yang satunya lagi telah berjalan meninggalkan mereka,
Heryz mengambil kesempatan itu untuk bertanya pada Emiro , salah satu security
yang berjaga di sekitar pintu masuk.
" Ada yang
dapat saya bantu ?" Emiro menyapa dengan ramah, wajah garang seorang
penjaga keamanan dengan usia diatas tiga puluh tahun berhasil ia sembunyikan
untuk sesaat.
" Ini ,
seorang Pria memberikan ini pada kami tiga hari yang lalu , jika tidak salah ,
Apakah .." Kalimatnya terhenti sebab Emiro mulai menunjukan wajah mengerti.
" Sebuah
undangan , dan tiga buah tiket untuk masuk ke Pameran lukisan di lantai dua
puluh empat, Wah .. Kalian beruntung sekali , karena setahuku tiket itu
terbatas! "
Heryz
menyunggingkan senyum sekadarnya,
" Kalau
begitu berarti memang disinilah tempatnya" guman hatinya, ia lalu melambai
lambaikan tangannya pada kedua sosok yang berdiri saling membelakangi satu sama
lain, Marvo dan Grace, kedua remaja itu memang selalu bertengkar, dan
Tidak pernah akur sedikitpun. Tapi yang anehnya mereka tak pernah keberatan
jika diajak bekerja sama dalam satu team. Sedangkan Heryz, si remaja pria
yang memiliki wajah blasteran amerika dan cina akan selalu bersikap acuh tak
acuh. Perhatiannya akan muncul jika pertengkaran diantara kedua temannya itu
terlampau membesar. Ketiganya merupakan siswa kelas tiga sebuah sekolah menegah
atas, Usia ketiganya hanya berselisih satu tahun, Grace memiliki usia lebih
muda dari kedua temannya yaitu enam belas tahun, sementara Marvo hanya lebih
tua beberapa bulan dari rekannya Heryz.
Ketiga remaja
itu berjalan beriringan memasuki bangunan gedung melalui pintu yang
berputar,ditangan masing masing tergenggam tiket masuk yang berwarna keemasan
dan berkilauan, Grace ; remaja wanita itu tak henti hentinya menyiulkan dendang
riang, ia terus menerus menunjukkan kebahagiaannya akan kesempatan
istimewa yang tak pernah ia sangka.
" Pria itu
aneh ya ? " Grace berpendapat, " Memberikan kita tiga tiket sebuah
acara khusus dengan cuma cuma " tambahnya.
" Bukan
aneh ! Lebih tepatnya murah hati, apa kau lupa kalau dia juga yang telah
memberikan kita uang saku untuk kemari, dan sebuah tugas " Marvo
membela, untuk sesaat pikirannya teringat pada pristiwa tiga hari yang lalu
saat ia melihat sebuah mobil marcedes benz terparkir didepan rumah Heryz
sahabat karibnya, Pria berusia tiga puluh tahun dengan baju pantai
mencolok, dan topi koboi dengan bulu diujungnya, gaya berpakaian yang cukup
aneh untuk sosok yang terlihat jutawan.
" Tuan
e..Zo..e..siapa ya ? Kok aku bisa lupa pada namanya ?" Marvo melirik Heryz
saat mereka sedang melaju dalam lift yang akan mengantar mereka ke lantai dua
puluh empat. Heryz menjawab sambil menekan tombol angka.
" Tuan
Zoune Marcus " ucap heryz, marvo menyentikkan jarinya.
" Tepat !
Ada hubungan apa Tuan Zoune dengan keluargamu ? " Marvo mengajukan
pertanyaan.
" Sotoy
banget sih ! " Grace menggerutu, " apa mulutmu itu tidak bisa diam
untuk sesaat ?" Dengusnya." Bersyukur saja pada kesempatan yang telah
dia berikan , kau tak perlu banyak tanya, laksanakan saja tugas kita kali
ini !"
Marvo hampir
menjambak bibir tipis Grace dengan tangannya kalau saja pintu lift tidak
terbuka dengan tiba tiba dilantai lima belas, seorang wanita cantik, dengan
gaun hitam ketat sebatas lutut berjalan masuk. Tangan lentik yang dihiasi cat
kuku warna merah menekan tombol angka dua puluh empat. Heryz hampir pingsan
mencium aroma parfum sang wanita yang begitu mencolok dihidungnya, tidak hanya
itu wangi lembut yang menyembul dari rambut coklat panjang sang wanita membuat dada
Grace melayang layang. Wanita itu, tampak menghentikan pembicaraan mereka.
Marvo memperhatikan kertas keemasan yang diselipkan diantara tas tangan sang
wanita, tiket yang sama dengan yang mereka miliki.
" Anda
juga akan ke Pameran Lukisan itu ya ? " Marvo mengamati sang wanita dari
ujung kaki ke ujung kepala, sang wanita mengalihkan pandangannya pada Marvo, ia
tersenyum sebuah senyum yang marvo artikan sebagai pengganti kata " Iya
atau Benar sekali ",
Lift berhenti,
dan pintu dengan segera terbuka. Mereka sudah tiba dilantai dua puluh empat,
tempat dimana acara yang mereka tuju berlangsung, sebuah pameran lukisan dari
masa kemasa , lukisan terbaik dari seluruh penjuru negeri akan dipamerkan hari
ini untuk kemudian di lelang dalam kegiatan amal dua hari kedepan. Ketiga
remaja menarik senyum dan berjalan membututi sang wanita yang tidak
mereka kenal, tentu saja karena tujuan yang sama pula.
" Ada yang
ganjil pada wanita ini ? " Marvo berbisik pada heryz yang tengah sibuk
mengamati sekelilingnya, mereka sedang berjalan menuju sebuah pintu kaca yang
terbuka, ada sebuah barner info yang dipasang didekat pintu , juga beberapa
karangan bunga yang bertuliskan ucapan selamat datang kepada pngunjung
terdaftar, tiga orang dengan sebuah meja penuh ukiran berjaga dengan siaga,
sang wanita menyerahkan tiket dan undangan yang ia miliki pada salah satu
pria penjaga , dan untuk itu ia mendapatkan sebuah tanda pengenal kecil yang
dijepit di didadanya. Wanita itu masuk tanpa menoleh lagi pada ketiga remaja
yang mengekor dibekangnya.
Heryz melakukan
hal yang sama menyerahkan undangan dan tiga buah tiket milik mereka,
seorang penjaga
pria yang menerima undangan tersebut untuk sesaat melirik pada ketiga remaja
dihadapnnya.
" Apakah
Tuan Zoune marcus hanya mengutus kalian tanpa ikut menghadiri acara ini ?
" Ia menyelidik, tentu saja itu karena undangan tersebut memang di
peruntukkan untuk zoune marcus. Bukan ketiga remaja.
" Iya, dia
memiliki urusan yang harus ia hadiri dalam waktu yang sama " Heryz
berkelakar , karena bukan itu jawaban yang sesungguhnya.
" Baiklah
, selamat menikmati pameran lukisan didalam, " sang penjaga menyematkan
tanda pengenal didada mereka, dengan anggukan kecil Heryz mengawali langkah
mereka , masuk melewati pintu pintu kaca dan tiba disebuah koridor luas.
Sebuah ruangan
berdinding merah hati dengan lorong lorong panjang yang bercabang
diberbagai arah, setiap satu setengah meter sekali terpajang sebuah lukisan
dengan ketinggian yang sesuai untuk dapat dilihat dengan seleluasa mungkin, tak
kurang dari seratus pengunjung yang hadir , semuanya terlihat berasal dari
kelas atas, kalangan milyurder yang menyukai benda seni sebagai koleksi mereka,
Cahaya ruangan ini ditata se dramalisir mungkin membuat seolah olah sang
penikmat lukisan dapat terhayut dalam keindahan tema yang disuguhkan dalam
setiap perpaduan warna dan gambar. Musik relaksasi yang mengalun lembut
menambah kesan bahwa lukisan yang terpajang benar benar hidup dan tampak
nyata.lukisan lukisan itu lebih terlihat Seperti sebuah kejadian yang dibekukan
oleh waktu yang terhenti.
Grace, Marvo
dan Heryz menyebar ke segala penjuru, mencari kesenangan dan ketertarikan
masing masing. Si cantik namun tomboi Grace mengambil alih lorong yang megarah
ke utara, sambil memperhatikan satu persatu lukisan , bibirnya tak henti henti
berkomat kamit mengulangi sebuah pesan,
" Lukisan
yang berkaitan , satu untuk yang lain , yang lain tentang satu " Grace
mengulang pesan dari tuan Zoune, tiga hari yang lalu Tuan Zoune meminta bantuan
mereka untuk menghadiri sebuah pameran lukisan di ibukota , ia harus membeli
salah satu lukisan pada acara pelelangan untuk ia pamerkan di istana miliknya,
sebuah rumah mewah yang akan diresmikan minggu depan, dan lukisan itu haruslah
lukisan yang memiliki makna yang tak ternilai harganya, lukisan yang
berkaitan , satu untuk yang lain, yang lain tentang satu. Begitulah yang Tuan
Zoune pesankan tentang ciri ciri lukisan yang ia hendaki. Dan jika mereka
berhasil menemukannya maka Tuan Zoune akan menghadiahkan mereka dengan liburan
gratis ke california selama seminggu penuh. Sebuah penawaran yang akan
menggiurkan siapapun.
" Aku
harus pergi ke california, harus! ini hanya tugas mudah untuk mencari
sebuah lukisan, aku pasti akan menemukannya ! " Grace mengepalkan tangan
penuh semagat.
Sementara itu
dilorong yang menghadap ke selatan, Heryz berdiri fokus dihadapan sebuah
lukisan yang terpajang paling pojok dari lukisan lukisan yang lain, lukisan
seorang wanita pengembala yang sedang berdiri dipadang rumput bersama lima ekor
domba miliknya, tampak sederhana dan terlihat kurang menarik perhatian para
pengunjung, tidak ada pengunjung yang berdiri terlalu lama untuk menunjukkan
ketertarikannya pada lukisan tersebut. Namun selang sedetik ketika ia hendak
melangkah pergi , ada wanita yang berdiri dgn jarak beberapa centi darinya.
Wanita yang berpapasan degnanya didalam lift itu memperhatikan dengan begitu
dalam pada lukisan dihadapannya. Semenit , dua menit kemudian ia berangsur
pergi.
Diwaktu yang
sama Marvo dan beberapa pengunjung lainnya, tengah berdesak desakan mengagumi
sebuah lukisan wanita dari era 20an dengan rambut berwarna cokelat pendek
bergelombang dengan pakaian kerajaan sedang duduk dalam sebuah tumpukan buku,
disekelilingnya terdapat buku buku lain yang terbuka berserakan, sang wanita
dengan wajah kelelahan meraih buku buku yang bertebaran dilantai. Dan yang
membuat lukisan ini menjadi begitu nyata adalah ekspresi wajah sang wanita
dalam lukisan seolah olah ia sedang menatap para pengunjung melalui sudut sudut
matanya.
" Lukisan
ini dibuat lebih dari lima ratus tahun yang lalu " nyonya Damenik , wanita
dengan tangan penuh cincin menyua komentar, beberapa mata menatapnya
menunggu penjelasan selanjutnya.
" Inisial
AV pada lukisan adalah nama dari pelukis fenomenal tersebut, Amora Varcha
" tambahnya lagi. " Aku akan membayar berapapun untuk lukisan tragis
ini" wanita bulat itu berambisius,
" Tragis
?" Celetuk pengunjung lainnya dia adalah seorang Pria muda berusia dua
puluh lima tahun dengan camera foto yang mengantung dilehernya, di tanda
pengenal yang terjepit di dadanya bertuliskan namanya;Ferdinand Luis.
" menurut
cerita , seusai menyelesaikan lukisan ini , sang pelukis dikabarkan menghilang,
maksudku Whuzz ,, lenyap begitu saja !" Tuturnya, ia mengeluarkan cermin
dari dompet hitam ditangannya, melihat bibir merahnya yang mulai kehilangan
warna akibat ruangan yg terlalu dingin. Marvo hanya manggut manggut,
" Pasti
Tuan zoune juga akan tertarik untuk membeli lukisan ini" pikir hatinya,
marvo menyelip keluar dari kerumunan dn berpapasan dengan Grace, gadis itu
tampak bingung ,sedari tadi ia hanya berkeliling ruangan luas itu tampak hasil
apapun, ia tak dapat melihat keindahan sebuah lukisan karena grace tak
punya jiwa seni sedikitpun, ia murni mengakui itu, mengakui bahwa hati dan
pikirannya hanya ditujukan untuk segala hal yang nyata masuk akal dan bisa
dibuktikan melalui perhitungan perhitungan tertentu, dan seni bukan sesuatu
yang dapat dipecahkan dengan rumus. Seperti lukisan lukisan yang Ia
lihat. Karena jika ia ditanya mengenai makna dari sebuah lukisan ,maka grace
akan memutuskan untuk bertanya pada pelukisnya langsung.
" Aku
sudah menemukannya, lukisan yang Tuan Zoune inginkan , kita bisa menghubunginya
sekarang ! " Marvo bersemagat, ia menaikkan dagunya bangga.
" Masak
sih ? Secepat itu ? Jangan jangan itu hanyalah lukisan biasa yang kau heboh
hebohkan , kau kan juga tidak punya jiwa seni ! " Enyel grace.
" Kau
mengatakan itu karena kau iri padaku,karena sebagai seorang wanita kau
tak mengerti arti keindahan sedikitpun"
Grace
tersinggung , ia berharap dapat menendang perut Marvo dengan kakinya, tapi ia
memutuskan untuk mengakui itu.
"
Bernarkan ? , akui sajalah ! " Marvo mengucel ngucel rambut Grace, gadis
itu telah melepaskan topinya beberapa saat yang lalu, ia merasa tampak bodoh
memakai sebuah topi diruangan ber AC.
" Kalau
begitu mana ? Tunjukan padaku lukisan itu !" Bentaknya.
" Ayo
!"Dengan gesit Marvo menarik lengan kemeja blush Grace, wajah keduanya
saling menunjukkan keantusiasan.
Namun belum
sempat Grace dan Marvo tiba pada lorong yang dituju, handphone disaku kemeja
Marvo berbunyi, dering yang memekik membuat Marvo cepat cepat mengangkat
panggilan telpon.
" Ada apa
? " Bisiknya,
" Cepat
kemari , lorong yang menghadap keselatan ! " Sambung suara ditelpon,
ruangan yang memang cukup luas membuat satu sama lain dapat mengalami situasi
cari mencari,
" Aku baru
ingin mengatakan kalau aku sudah menemukan lukisan yang kita cari !" Marvo
menambahkan dengan nada bangga yang tak tertahankan.
" Katakan
itu nanti saja , sekarang bergegaslah kemari ! " Telpon ditutup, Marvo dan
Grace saling berpandangan ,sebuah komando telah disuarakan , diantara mereka Haryzlah
orang yang bertindak paling rasional dan penuh pertimbangan, karena itu
mereka memutuskan harus bergegas meskipun tidak tahu untuk apa.
Saat memasuki
lorong yang menuju keselatan , kedua remaja itu kembali berpapasan dengan
wanita dalam lift, Marvo ingin menghentikan langkahnya , entah itu bertanya
sesuatu atau sekedar menyapa untuk memastikan perasaannya, ia merasa ada yang
ganjil dengan wanita itu sesuatu yang mungkin ia saja yang merasakannya
namun bentakan Grace melunturkan niatnya.
" Disana
" Grace menunjuk sosok remaja dengan kemeja biru tua dan kaca mata tipis
yang membingkai wajahnya. Dengan langkah sedikit percepat, Grace dan Marvo
mendekati Posisi Haryz.
"
Perhatikan lukisan itu ! " Perintah Haryz , kedua remaja kembali berpandangan.
Lalu beberapa detik kemudian menuruti perintah tanpa banyak bertanya.
Tiga pasang
mata menatap pada satu persegi didinding;sebuah lukisan seorang pengembala
dengan jubah merah panjang hingga lutut dan penutup kepala yang
menutupi sebagian wajahnya , dikakinya lima ekor domba mengelili , seolah olah
lebih senang berada dibawah kaki majikannya dari pada melahap rumput rumput
hijau dipadang yang luas.
" Lukisan
ini sederhana sekali, tidak menarik ! " Grace berkomentar. Ia merapihkan
rambutnya yang berantakan karena Marvo.
" Aku
menemukan lukisan yang lebih bagus dari pada ini, aku yakin tuan Zoune
juga akan tertarik untuk membeli lukisan itu saat pelelangan nanti " jelas
marvo, ia mengeleng gelengkan kepalanya melihat lukisan dihadapannya, " tidak
menarik, tidak menarik ! " Gerutunya.
"
Menurutku ada yang tidak beres pada cerita dilukisan itu " Haryz masih
menyelidik penuh kosentrasi ," tapi apa ? " Ia memekik dingin.
" Hei,,
sudah sudah ! Bukan lukisan itu yang kita cari, sekarang kau harus melihat
temuanku ! "
Tiba tiba Lampu
disekitar lukisan berkedip, hidup dan mati untuk beberapa saat
"Hi..
Horor ah !" Grace memegang bagian belakang leher jenjangnya. Sebenarnya ia
tidak takut, Ia hanya merasa sudah mulai bosan, pada kegiatan yang semula ia
anggap akan sangat menyenangkan.
" Baiknya
sekarang kita menghubungi Tuan Zoune saja, kita beritahu Bahwa kita sudah
menemukan lukisan istimewa yang dia cari, sekalian aku ingin memperlihatkan
kalian bedua wujud lukisan itu" Marvo merangkul pundak Heryz, ia
menaik kan alisnya berulang kali.
"
Okelah!" Heryz akhirnya menyetuju, Ia tampak lelah menduga duga terlalu
lama. Heryz mengeluarkan sebuah handphone layar sentuh dari saku celananya lalu
mecari sebuah nama. " Ini , kau saja yang berbicara pada Tuan Zoune",
Setelah
menerima handphone , Marvo langsung menempelkannya di telinga kiri Dan setelah
menunggu beberapa saat akhirnya telpon itu tersambung juga.
" Tuan
Zoune, iya, sudah ketemu, aha , benar benar luar biasa, tentu saja, "
Marvo berbicara dengan wajah penuh senyum , namun tiba tiba senyumannya
terlihat begitu dingin, " Oh itu, e..baiklah !" Marvo menutup
telponnya. Heryz dan Grace melirik satu sama lain.
"
Ada apa ? " Heryz mengambil handphone yang diulurkan Marvo padanya,
ketiganya mulai melangkah menuju tempat lukisan yang Marvo maksud terpajang.
" Tuan
Zoune bertanya , apakah itu sudah benar benar sesuai dengan keinginan yang ia
pesankan sebelumnya , maksudku tentang lukisan yang berkaitan , satu untuk yang
lain, yang lain tentang satu " Marvo menggaruk garuk kepalanya yang tak
gatal.
" Sudah ku
bilang kan , kau tak mungkin menemukan lukisan itu dengan begitu cepat
semudah menemukan gajah dalam kandangnya sendiri! " Grace menunjukkan
ekspresi hinaan yang membuat Marvo menundukkan kepala.
"
Benar!" Sesal marvo, " tapi mana ada lukisan seperti itu ! "
Bantahnya lagi.
" Lukisan
yang berkaitan, Satu untuk yang lain, yang lain tentang satu, apa maksudnya ?
" Pikir Heryz, ia menurunkan kacamatanya, mata bulat dengan bulu
mata lentik dan bola mata cokelat yang ia miliki membuat ia terlihat begitu
menawan untuk remaja berusia tujuh belas tahun, ditambah dengan pembawaan
dingin dan postur tubuh tinggi yang begitu kharismatik, benar benar membuatnya
lebih menonjol dari pada kedua temannya.
" Sudah
pukul lima sore , setelah melihat lukisan yang kau maksud itu, baiknya kita
segera pulang soalnya aku takut kita akan kemalaman sampai rumah dan itu
akan sangat berbahaya" Grace menujukkan tatapan yang mengarah pada Heryz,
kata berbahaya yang ia maksud adalah untuk Heryz, teman pria nya yang satu ini
memiliki kelemahan terhadap kegelapan malam, selain menderita rabun jauh yang
kronis pada usia muda, Heryz juga tak dapat melihat apapun saat malam
tiba.bahkan Ia butuh begitu banyak lampu hanya untuk berjalan di teras
rumahnya sendiri.
Marvo
mengangguk - anggukkan kepalanya dengan wajah kasian.
Kemudian...
" TARA !
" Marvo berdiri disamping sebuah lukisan dengan panjang 1,5 meter dan
lebar 50 cm, kedua tangannya ia bentangkan seolah olah mempersilahkan sesuatu
yg istimewa untuk hadir, " Ini dia lukisan yang ku maksud tadi, perhatikan
! Perhatikan dengan teliti !melihatnya Benar benar membuat perasaan jadi tak
menentu ! " Marvo menyerocos tanpa henti.
letak dimana
lukisan itu berada tidak dipenuhi pengunjung seramai sebelumnya, ada beberapa
orang yang masih berada disekitar lukisan itu namun setelah berdecak kagum
orang orang itupun berlalu. Kini hanya mereka bertigalah yang menikmati lukisan
itu tanpa gangguan, sorot mata ketiga remaja menyelidik dengan detail seinci
demi seinci polesan warna yang akhirnya merajut sebuah gambar.
" Jadi
kalian bisa buktikan kalau Aku tidak bohongkan ? Lukisan ini benar benar
menakjubkan " Marvo membusungkan sedikit dadanya. Heryz hanya dapat
tersenyum mengiyakan. Dia telah memakai kacamatanya kembali.
" Aku
tidak tahu " balas Grace.
Marvo yang
semula berdiri disamping lukisan , merubah posisinya ia menyelinap ditengah
tengah Grace dan Heryz.
" Kau itu
memang tak paham seni, jadi rasanya pantas kalau kau tidak tahu apapun !
". Bentaknya,
" Diamlah
marvo, tutup mulutmu dulu. aku tidak sedang membalas ucapanmu ! " Grace
masih fokus pada lukisan, heryz mengangkat bahunya pertanda bahwa bukan dirinya
yang memancing kata kata itu keluar dari mulut grace. Marvo tergelak, Ia
menyentikkan jarinya di wajah Grace.
" Lalu ?
" Marvo menatap Grace lekat lekat. Grace mengangkat tangannya ia
menunjuk pada lukisan.
"
Ulala,sekarang Nona alam nyata mulai meninggalkan kedudukannya, " Marvo
menggerak gerakan jarinya secara bergantian , membuat ekspresi seseram mungkin
" Hoho , dan kini dia sedang berbicara dengan sebuah lukisan "
Grace menoleh dengan cepat pada Marvo , ditutupnya wajah marvo dengan
topi yang sedari tadi menggantung diikat pinggangnya.
" Berisik
! " Omel Grace. " Aku hanya merasa sorot mata wanita dalam lukisan
itu seolah olah sedang bertanya padaku, dimana Benda itu aku
disembunyikan ?"
" Wuahaha
! " Marvo tertawa, riuh sekali. Dan saat itu pula nyonya damenik muncul
dari kelokan lorong yang lebih dalam. Sambil berjalan melintasi ketiga
remaja, nyonya damenik menyempatkan diri untuk menghardik.
" Kecilkan
tawamu itu bocah ! " Ketus nyona damenik, " ini sebuah pameran
lukisan , bukan pertunjukkan sirkus keliling "
Marvo
membungkam, ia tertunduk malu dan sedikit kesal ,
" Huh ,
dasar orang kaya " gerutunya. " Aku memang tertawa cukup keras , tapi
aku bukan bocah! "
" Kita
pulang sekarang saja " Heryz menarik tangan kedua temannya, " masalah
lukisan yang Tuan Zoune cari kita minta maaf saja padanya karena tak dapat
membantu menemukannya " ucap Heryz. Grace dan Marvo mengangguk serempak.
" Dan sekarang kalian juga dapat mulai mengucapkan selamat tinggal untuk
california " tambahnya lagi, Kata kata heryz membuat kedua temannya
bersungut sedih.
Selang beberapa
detik Ketiga remaja sudah mulai melupakan kesedihannya dan mulai berjalan
menuju pintu kaca, satu satunya jalan untuk masuk dan keluar , mereka berulang
kali berpapasan dengan banyak pengunjung, tampaknya lima puluh persen dari
pengunjung yang hadir sudah meninggalkan ruang pameran, dan mereka juga akan
melakukan hal yang demikian, sepintas mereka sempat melihat bagian
ruangan koridor dikiri mereka dengan dinding kaca yang memperlihatkan
kota dari ketinggian lantai dua puluh empat. Untuk beberapa saat Grace
menarik mereka mendekati dinding kaca. Gorden yang menyelimutinya telah
tersibak lebih dulu.
" Keren !
" Batin Grace, ini pertama kalinya ia melihat tampilan kota dari
ketinggian yang tak ia bayangkan. Ia hendak menyenggol tubuh Marvo, memasang
wajah manis untuk dimintakan mengambil fotonya dengan latar belakang kota yang
ia kagumi itu , Namun sesuatu mendadak terjadi, lampu didalam ruangan
tiba tiba mati, anehnya lampu itu mati dengan pola yang berurutan dimulai dari
tengah ruangan ditempat mereka berdiri lalu menjalar kesetiap lorong hingga
akhirnya berhenti ketika lorong membuntu. Semua pengunjung yang tersisa
tampak gerasa gerusu dan penuh dengan ocehan , dan ketika lampu menyala
kembali, sesuatu yang tak disangka sangka telah berlaku, dua buah lukisan
menghilang ...
Terlihat
beberapa orang berseragam berlari keberbagai arah, orang orang itu menunjukkan
ekspresi wajah yang berbeda beda, panik dan cemas yang dipadukan dengan
kelakuan tergesa gesa. Melihat kegaduhan yang muncul Heryz , marvo dan Grace
tergetar untuk mencari tahu. Mereka mengikuti kemana asal keributan, atau lebih
tepatnya menuju kearah tempat kejadian perkara.
Alangkah
terkejutnya Mereka ketika mendapati bahwa dua lukisan yang menghilang adalah
lukisan wanita dari era 20an dan lukisan wanita pengembala. Kedua duanya adalah
lukisan yang sempat menjadi pusat perhatian mereka.
Heryz melangkah
mendekati dinding kosong yang sebelumnya terpajang sebuah lukisan pengembala,
kakinya menginjak sebuah benda keras yang sedikit lunak, Heryz berjongkok,
memungut benda tersebut; sebuah tanda pengenal yang sama percis dengan yang
mereka miliki. Namun ketika Heryz ingin menunjukkan temuannya pada para staff
yang semakin panik, beberapa petugas keamanan justru menggiring mereka serta
pengunjung lainnya untuk menjauh dari lokasi, mereka dikumpulkan dikoridor,
tersisa empat puluh dua orang dari seratus dua puluh pengunjung. Diruangan itu
mulut semua orang tak berhenti mengoceh , membicangkan dua lukisan yang
mendadak hilang.
" Kalau
seperti ini, bukan hanya lukisan yang akan menghilang " Grace mengoceh,
" tapi juga kesempatan kita mendapatkan bis untuk pulang !" Keluhnya.
Petugas
keamanan mengambil alih situasi, ia berbicara dihadapan seluruh pengunjung
dengan berwibawa.
" Dua buah
lukisan menghilang, setiap orang yang ada disini akan melakukan pemeriksaan
berkala untuk dimintai keterangan, jadi mohon kerjasamanya "
Setelah
mengatakan hal itu , ruangan kembali riuh , para pengunjung di izinkan untuk
pulang setelah terlebih dahulu memberikan informasi tentang identitas masing
masing, hal itu berguna untuk membantu penyelidikan , sebab hari yang menjelang
malam tidak memungkinkan untuk melakukan interogasi kepada empat puluh dua
orang saat itu juga.
Grace , Marvo
dan Heryz sampai pada sebuah lift mereka memutuskan untuk bergerak paling
akhir, dengan begitu mereka dapat keluar dari ruangan dan menaiki lift tanpa
perlu berdesak desakan dengan yang lainnya. heryz menekan tombol,
menunggu sebuah lift yang bergerak turun berhenti, tapi sekonyong konyong
menunggu , Marvo tiba tiba berlari meninggalkan Grace dan Heryz , menuju sebuah
sudut Dan Selang beberapa menit Marvo kembali dengan nafas
tersengal sengal.
" Aku
pikir aku melihat sesuatu berjalan kesana " ucap Marvo" sosok serba
hitam !" Jelasnya, " dan disudut itu ternyata tempat pintu tangga
darurat berada !"
" Kau
lelah dan lapar, pikiranmu kacau sehingga kau berkayal telah melihat hantu !
" Ucap Grace.
" aku tak
bilang itu hantu, aku hanya bilang sosok hitam !" Marvo menyakinkan,
" dan berjalan dengan cepat sambil membawa sesuatu " tambahnya lagi.
Heryz ingin
menanggapi namun Pintu lift yang terbuka mengurungkan niatnya.
" Nanti
saja kita bahas sosok hantu hitam itu,sekarang kita harus buru buru, atau nanti
kalian harus bergantian menjadi mata untukku ! " ,
Kedua remaja
itu mengerti, mereka lalu segera masuk kedalam lift dan menekan tombol lantai
satu, tidak ada pembicaraan yang perlu mereka bahas, ketiga remaja tampak
sangat lelah sementara perjalanan untuk sampai kerumah masing masing masih
sangat jauh, rumah ketiganya berada dipesisir pantai jauh dari pusat ibukota ,
dan butuh waktu kurang lebih empat jam untuk dapat tiba dan beristirahat.
Itupun jika mereka dapat menemukan bis yang masih melaju kesana. Tapi sayangnya
Bis terakhir baru saja pergi....
" Ugh ,,
maling sialan ! " Omel grace," pencurian yang ia lakukan
membuat kita tertahan di pameran itu" Grace menghentakkan
kakinya di aspal jalan, Ia begitu kesal karena harus kehilangan bis terakhir.
" Kau yang
membuat kita ketinggalan bis" bantah marvo, " kau ketoilet terlalu
lama ! "
" Hei ,
kau juga ketoilet tak kalah lama dari ku ! " Grace bersikeras.
" Teman
teman , hentikan ! " Heryz memohon, " kalian berdua sama sama
bersalah karena pergi ketoilet lebih lama dari waktu yang kalian janjikan
padaku ! " Heryz melepaskan kacamatanya. " Tapi bukan itu masalah
yang harus kalian perdebatkan ! Lihatlah , aku sudah tidak bisa melihat apa apa
lagi sekarang , dan yang lebih buruk lagi bagaimana kita akan kembali kerumah ?
" Heryz kelihatan meraba raba sekelilingnya, matahari telah terbenam satu
jam yang lalu dan itu mulai menjadi petaka baginya. Grace dan Marvo tersadar ,
masing masing memegang bagian tangan Heryz. Sambil tetap saling mencibir dalam
diam keduanya memopong Heryz untuk berdiri diantara mereka. Mereka duduk dengan
lemas di halte bis, putus asa.
" Kenapa
kita tidak menelpon tuan Zoune saja, keberadaan kita bukankah tanggung jawabnya
juga ?" Grace berpendapat. Marvo menyetujui.
"
Handphone , handphone, " Marvo meraba saku Heryz , mencari handphone
miliknya. Hanya Heryz satu satunya yang menyimpan nomor telpon tuan Zoune.
" Loh, apa
ini ? " Marvo terkejut ketika tangannya justru menemukan benda yang lain ,
sebuah tanda pengenal.
" Dandelin
Amoira V. "Eja Marvo," seperti pernah dengar " ia melirik
Heryz yang menatap keberbagai arah tanpa dapat melihat apapun.
" Itu
kutemukan di dekat lokasi dimana Lukisan yang hilang, lukisan pengembala
!" Jelas Heryz.
Marvo masih
mengingat ingat, sementara Grace sibuk menekan tombol pada handphone Heryz.
" A,,
tentu saja , hampir mirip ! " Marvo memekik ,
TIN ,, TIN,,
terdengar suara klakson dibunyikan , sebuah mobil hitam dengan nomor flat 1111Z
berhenti tepat didepan halte, seseorang melangkah keluar dari kursi pengemudia,
Ia melambai dan memberikan salam pada ketiga remaja yang ia kenal.
" Apakah
kalian ketinggalan Bis terakhir ? " Pria berusia empat puluh lima tahun ,
dengan badan tegap, dan kemeja hitam liris liris, berjalan mendekati ketiga
remaja. Ia tersenyum namun kumis tebalnya menyembunyikan senyum ramahnya.
" Oh kau ,
Pak Hermed ! " Grace Berteriak senang, " Bagaimana kau bisa ada
disini ?" Tanyanya. Hermed adalah asisten pribadi Tuan zoune , mereka
pernah bertemu dengannya sekali, itupun saat mereka berkenalan dengan Tuan
zoune tiga hari yang lalu
"
Bagaimana aku bisa ada disini ?" Hermed mengulang kalimat grace, " oh
lucu sekali ! " Hermed tertawa kecil, "selain asisten pribadi
aku juga supir, tugasku adalah mengantarkan penumpangku kemanapun ia mau,
jadi tidak hanya disini, mungkin kalian akan sering bertemu denganku diberbagai
tempat " jelasnya. "Dan Aku baru saja mengantarkan Tuan Zoune ke
bandara , ia akan terbang ke venezuela malam ini " Hermed berbisik di
telinga Grace ." urusan bisnis " terangnya.
" Apakah
sekarang kau juga dapat mengantarkan kami pulang ? " Marvo memelas,
tangannya tetap menggenggam erat lengan Heryz , ia ingin Heryz selalu yakin
bahwa ia akan tetap berada disampingnya.
" Tentu
saja, aku pikir tuan Zoune juga menginginkan demikian , " Hermed
mempersilahkan" mari !" Ia membukakan pintu mobil dengan sopan.
" Jika aku berkendara dengan kecepatan seratus dua puluh kilometer
perjam, kita pasti akan sampai dalam waktu kurang dari tiga jam " ia
menyakini.
" Oh,
terima kasih ! " Grace tersenyum , " kau baik sekali pak Hermed"
Grace melangkah kemobil.
" Jangan
lupakan aku Grace ! " Ucap Heryz , ia menyodorkan lengan kanannya, Grace
memukul jidatnya.
" Apa yang
terjadi pada teman kalian ?Apa Heryz membuta ?" Hermed menatap khawatir.
" Membuta
yang kau maksud mungkin akan lebih tepat jika dikatakan tidak dapat
melihat apapun untuk waktu waktu tertentu ! " Marvo membenarkan , Ia
bersama grace membimbing Heryz kedalam mobil Marcedes benz yang dikemudikan
Hermed, ketiga remaja duduk dikursi belakang. Sebab dikursi depan terdapat
sebuah peti besi berwarna kecoklatan , ada ukiran simbol simbol aneh yang
mengelilinginya, peti itu ber ukuran cukup besar. Grace dan Marvo yang
melihatnya merasa tidak perlu bertanya karena mereka yakin itu bukanlah
sesuatu yang pantas mereka usik, Urusan orang lain.
Mobil melaju
dengan kencang , menembus sorotan sorotan lampu jalan yang berkilauan,
Hermed tampak fokus pada setir dan jalan raya namun sesekali ia terlihat
mencuri pandang pada Heryz melalui kaca spion yang ada didalam mobil. Ia sedang
menyelidiki lelaki itu.
" Pak
Hermed !" Panggil heryz tiba tiba, sontak membuat hermed terkejut.
" Ada apa
? " Sahutnya,
"
Menurutmu kenapa tuan Zoune meminta kami untuk menemukan lukisan yang ia
inginkan ?, kenapa dia tidak menemukannya sendiri dan melihat langsung seperti
apa lukisan yang ia mau !" Heryz bertanya, grace dan Marvo memasang
telinga dengan seksama untuk jawaban itu.
" Tuan
zoune tidak bisa melakukan itu , ia tidak dapat melihat keindahan suatu lukisan
" jelas hermed
"Sama
sepertiku ya ? " Grace menunjuk dirinya.
" Apa kau
juga buta warna ? " Tanya hermed,
" Jelas
Tidak !" Bantah Grace cepat , " tapi , apa itu artinya Tuan Zoune
menderita buta warna ? "
Hermed
mengangguk , " Hmmm,,seperti itulah kira kira !"
" Kasihan
sekali dia ! "Grace mengelus dadanya,
"Lalu Apa
yang terjadi pada mata mu ,Haryz ? " Hermed memandang Heryz melalui kaca
spion,
" Ini
seperti rabun senja yang akut !, aku sudah pernah cek kedokter namun belum
dapat menyembuhkannya " Heryz memicing micingkan matanya, yang dapat ia
lihat hanyalah kilauan kilauan cahaya yang menyalak nyalak dan melintas lintas
dengan cepat.
" Amoira
dan Amora , bukankah hampir mirip?" Tiba tiba Marvo menyeletuk dengan
pembahasan yang sedikit melenceng, Ia menyikut pundak Heryz " Kau tahu
lukisan yang hilang itu , lukisan wanita dari era 20 seingatku nyonya
kaya yang ketus itu mengatakan nama pelukis lukisan itu adalah Amora
Varcha" jelasnya , marvo menatap keluar kaca jendela mobil. Memcoba
membuat suatu kesimpulan yang masih berkaitan dengan kedua nama, Amoira dan
Amora. Hatinya menyakini sesuatu dengan kedua nama itu. Dan ia percaya pada
hatinya.
" Apakah
aku tidak salah , barusan kau mengatakan Lukisan yang hilang ? , apa telah
terjadi sesuatu ? " Tanya hermed , ia tampak begitu ingin tahu.
" Ya, Dua
buah lukisan menghilang , aneh sekali ! " Grace menjelaskan . " Dan
kemudian sosok hitam muncul , haha " Grace meledek Marvo, ia tertawa
ringkih.
" Sosok
hitam ? seperti hantu?" Selidik hermed. Matanya menunjukan kilatan tajam.
" Bukan !
Aku yakin itu manusia, manusia dengan pakaian serba hitam dan melintas
cepat tanpa suara lalu masuk ke pintu tangga darurat " jelas Marvo ,
ia menghela nafas ," atau mungkin hantu yang melayang menembus pintu
" gumannya.
***
Langit gelap ,
sekonyong konyong bulan purnama bersinar tanpa noda, sebuah benda besi melesat
di udara , menembus awan awan kelabu dengan membawa sekitar seratus
penumpang yang mulai terlelap tidur. Sang kapten masih siaga dengan
komandonya atas pesawat yang ia kemudikan. Sementara para pramugari berjalan
jalan dari satu kabin ke kabin yang lain mengontrol apakah ada penumpang yang
membutuhkan sesuatu. Dari kelas bisnis, Seorang wanita melambaikan tangan
meminta sang pramugari menghampirinya.
" Tolong
berikan aku segelas kopi, pahit dan panas !" Pintanya.
" Baik
nona, mohon menunggu sebentar " sang pramugari meninggalkan wanita itu
dengan sebelumnya tersenyum ramah.
Sementara sang
nona melirik pada Pria tampan yang memejamkan mata disampingnya.
" Kau
masih terjaga Dandelin ? " Pria itu berbisik.
"
Hmm..." Sang wanita yang mendengar namanya diucapkan melirik sejenak ,
" istirahatlah Zoune , perjalanan kita masih panjang" dandelin
mengelus kepala pria yang bersender dibahunya. " Selamat malam "
bisiknya lagi.
Dandelin Amoira
V. menyenderkan kepalanya di sandaran kursi, ia tengah mencari ketenangan untuk
dapat mengingat suatu hal, sebuah persoalan atau lebih tepatnya sebuah kenangan
yang beberapa jam lalu menjejali otaknya tentang suatu tujuan .
" Benarkah
itu kau Varcha , kau muncul kembali ? " Dandelin mengatupkan bibirnya ,
" kau akan segera aku singkirkan , secepatnya ! " Ia bersungut namun
wajahnya sama sekali tak memancarkan ekspresi apapun, Pramugari yang membawakan
sebuah tampann berisi segelas kopi menghampirinya.
" Apa ada
hal lain yang anda butuhkan ? " Pramugari bertanya ramah,
Dandelin
menggeleng ." Terima kasih ! " Ucapnya. Saat pramugari berlalu
Dandelin dengan cepat mengeluarkan sebuah botol kaca tertutup dari tas
kecilnya, menumpahkan sebutir kapsul dari botol tersebut lalu memasukkannya
kedalam mulutnya, dan dengan segera menggunakan kopi ; pahit dan panas untuk
memperlancar kapsul itu di kerongkongannya. Dandelin menutup wajahnya menahan
nyeri.
" Bodoh !
" Ia mendesis, " bahkan sekarang pun aku dapat menyingkirkanmu , kau
; Varcha dalam wujud remaja !" Dandelin memekik dalam hatinya , ia
mengambil sebuah kertas memo lalu menulis beberapa pesan .setelah itu
menyelipkannya dengan lembut disaku jas Zoune , Pria itu mulai terlelap semakin
dalam.
" Aku akan
mencarinya sendirian, jadi Jangan mencariku !" Bisik dandelin, ia
menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya , mengemas seluruh barang yang ia
bawa dan berjalan meninggalkan kursinya tanpa pernah kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar