Selasa, 10 Maret 2015

Reneissance

I. Awal yang tak disangka

Gedung itu menjulang tinggi kelangit, dinding kaca yang menyelimutinya seolah olah menawarkan sebuah petualangan penuh muslihat didalamnya. Grace, Marvo, dan Heryz memandang penuh takjub pada seisi kota yang baru mereka kunjungi, hiruk pikuk dan penuh hinar binar itulah  yang dapat mencerminkan sebuah sosok ibu kota negara yang sedang mereka santroni saat ini,  Sambil melangkah menuju pintu yang dapat berputar di lobi gedung, ketika remaja itu saling bergandengan pena, suatu cara yang selalu mereka gunakan untuk saling berpegangan satu sama lain tanpa saling menyentuh.

" Kau yakin ini tempatnya Ryz ?" remaja wanita dengan rambut bergelombang yang diikat tinggi dan ditutupi topi hijau melirik pada Pria jangkung disebelahnya, matanya menyipit untuk beberapa saat. Ia adalah si tomboy Grace Iyoku

" Ya, alamat pada undangan ini tertera demikian ! " Heryz membetulkan letak kacamatanya lalu  membaca kembali sebuah alamat yang tertera pada selembar kertas berwarna biru muda ditangannya, Ia mengangguk.

" kalau begitu , apa lagi  yang kita tunggu ? " Marvo remaja pria manis dengan lesung pipit dan rambut yang berdiri berserakan bagaikan duri landak menyikut heryz mencoba menyadarkan teman temannya, " kita sudah terlambat satu jam , dan itu gara gara kau berdandan terlalu lama ! " Ia menunjuk wajah Grace dengan kesal. Gadis tomboi itu tak tinggal diam.

" Aku ? , enak saja !" Grace menarik pena dari  genggamannya, " kaulah yang Berlagak sok tahu jalan, sehingga membuat kita nyasar ntah kemana ! " Tudingnya, sementara Kedua remaja yang tak pernah akur itu saling menumpahkan kesalahan , remaja yang satunya lagi  telah berjalan meninggalkan mereka, Heryz mengambil kesempatan itu untuk bertanya pada Emiro , salah satu security yang berjaga di sekitar pintu masuk.

" Ada yang dapat saya bantu ?" Emiro menyapa dengan ramah, wajah garang seorang penjaga keamanan dengan usia diatas tiga puluh tahun berhasil ia sembunyikan untuk sesaat.

" Ini , seorang Pria memberikan ini pada kami tiga hari yang lalu , jika tidak salah , Apakah .." Kalimatnya terhenti sebab Emiro mulai menunjukan wajah mengerti.

" Sebuah undangan , dan tiga buah tiket untuk masuk ke Pameran lukisan di lantai dua puluh empat, Wah .. Kalian beruntung sekali , karena setahuku tiket itu terbatas! "

Heryz menyunggingkan senyum sekadarnya,
" Kalau begitu berarti memang disinilah tempatnya" guman hatinya, ia lalu melambai lambaikan tangannya pada kedua sosok yang berdiri saling membelakangi satu sama lain, Marvo dan Grace, kedua remaja itu memang  selalu bertengkar, dan Tidak pernah akur sedikitpun. Tapi yang anehnya mereka tak pernah keberatan  jika diajak bekerja sama dalam satu team. Sedangkan Heryz, si remaja pria yang memiliki wajah blasteran amerika dan cina akan selalu bersikap acuh tak acuh. Perhatiannya akan muncul jika pertengkaran diantara kedua temannya itu terlampau membesar. Ketiganya merupakan siswa kelas tiga sebuah sekolah menegah atas, Usia ketiganya hanya berselisih satu tahun, Grace memiliki usia lebih muda dari kedua temannya yaitu enam belas tahun, sementara Marvo hanya lebih tua beberapa bulan dari rekannya Heryz.

Ketiga remaja itu  berjalan beriringan memasuki bangunan  gedung melalui pintu yang berputar,ditangan masing masing tergenggam tiket masuk yang berwarna keemasan dan berkilauan, Grace ; remaja wanita itu tak henti hentinya menyiulkan dendang riang, ia terus menerus  menunjukkan kebahagiaannya akan kesempatan istimewa yang tak pernah ia sangka.

" Pria itu aneh ya ? " Grace berpendapat, " Memberikan kita tiga tiket sebuah acara khusus dengan cuma cuma " tambahnya.

" Bukan aneh ! Lebih tepatnya murah hati, apa kau lupa kalau dia juga yang telah memberikan kita uang saku untuk kemari, dan sebuah tugas  " Marvo membela, untuk sesaat pikirannya teringat pada pristiwa tiga hari yang lalu saat ia melihat sebuah mobil marcedes benz terparkir didepan rumah Heryz sahabat karibnya, Pria berusia tiga puluh tahun  dengan baju pantai mencolok, dan topi koboi dengan bulu diujungnya, gaya berpakaian yang cukup aneh untuk sosok yang terlihat jutawan.

" Tuan e..Zo..e..siapa ya ? Kok aku bisa lupa pada namanya ?" Marvo melirik Heryz saat mereka sedang melaju dalam lift yang akan mengantar mereka ke lantai dua puluh empat. Heryz menjawab sambil menekan tombol angka.

" Tuan Zoune Marcus " ucap heryz, marvo menyentikkan jarinya.

" Tepat ! Ada hubungan apa Tuan Zoune dengan keluargamu ? " Marvo mengajukan pertanyaan.

" Sotoy banget sih ! " Grace menggerutu, " apa mulutmu itu tidak bisa diam untuk sesaat ?" Dengusnya." Bersyukur saja pada kesempatan yang telah dia berikan , kau tak perlu banyak tanya, laksanakan saja  tugas kita kali ini !"

Marvo hampir menjambak bibir tipis Grace dengan tangannya kalau saja pintu lift tidak terbuka dengan tiba tiba dilantai lima belas, seorang wanita cantik, dengan gaun hitam ketat sebatas lutut berjalan masuk. Tangan lentik yang dihiasi cat kuku warna merah menekan tombol angka dua puluh empat. Heryz hampir pingsan mencium aroma parfum sang wanita yang begitu mencolok dihidungnya, tidak hanya itu wangi lembut yang menyembul dari rambut coklat panjang sang wanita membuat dada Grace melayang layang. Wanita itu, tampak menghentikan pembicaraan mereka. Marvo memperhatikan kertas keemasan yang diselipkan diantara tas tangan sang wanita, tiket yang sama dengan yang mereka miliki.

" Anda juga akan ke Pameran Lukisan itu ya ? " Marvo mengamati sang wanita dari ujung kaki ke ujung kepala, sang wanita mengalihkan pandangannya pada Marvo, ia tersenyum sebuah senyum yang marvo artikan sebagai pengganti kata " Iya atau Benar sekali ",

Lift berhenti, dan pintu dengan segera terbuka. Mereka sudah tiba dilantai dua puluh empat, tempat dimana acara yang mereka tuju berlangsung, sebuah pameran lukisan dari masa kemasa , lukisan terbaik dari seluruh penjuru negeri akan dipamerkan hari ini untuk kemudian di lelang dalam kegiatan amal dua hari kedepan. Ketiga remaja menarik senyum dan berjalan membututi  sang wanita yang tidak mereka kenal, tentu saja karena tujuan yang sama pula.

" Ada yang ganjil pada wanita ini ? " Marvo berbisik pada heryz yang tengah sibuk mengamati sekelilingnya, mereka sedang berjalan menuju sebuah pintu kaca yang terbuka, ada sebuah barner info yang dipasang didekat pintu , juga beberapa karangan bunga yang bertuliskan ucapan selamat datang kepada pngunjung terdaftar, tiga orang dengan sebuah meja penuh ukiran berjaga dengan siaga, sang wanita menyerahkan tiket dan undangan  yang ia miliki pada salah satu pria penjaga , dan untuk itu ia mendapatkan sebuah tanda pengenal kecil yang dijepit di didadanya. Wanita itu masuk tanpa menoleh lagi pada ketiga remaja yang mengekor dibekangnya.

Heryz melakukan hal yang sama menyerahkan undangan dan tiga buah tiket milik mereka,
seorang penjaga pria yang menerima undangan tersebut untuk sesaat melirik pada ketiga remaja dihadapnnya.

" Apakah Tuan Zoune marcus hanya mengutus kalian tanpa ikut menghadiri acara ini ? " Ia menyelidik, tentu saja itu karena undangan tersebut memang di peruntukkan untuk zoune marcus. Bukan ketiga remaja.

" Iya, dia memiliki urusan yang harus ia hadiri dalam waktu yang sama " Heryz berkelakar , karena bukan itu jawaban yang sesungguhnya.

" Baiklah , selamat menikmati pameran lukisan didalam, " sang penjaga menyematkan tanda pengenal didada mereka, dengan anggukan kecil Heryz mengawali langkah mereka , masuk melewati pintu pintu kaca dan tiba disebuah koridor luas.

Sebuah ruangan berdinding merah hati  dengan lorong lorong panjang yang bercabang diberbagai arah, setiap satu setengah meter sekali terpajang sebuah lukisan dengan ketinggian yang sesuai untuk dapat dilihat dengan seleluasa mungkin, tak kurang dari seratus pengunjung yang hadir , semuanya terlihat berasal dari kelas atas, kalangan milyurder yang menyukai benda seni sebagai koleksi mereka, Cahaya ruangan ini ditata se dramalisir mungkin membuat seolah olah sang penikmat lukisan dapat terhayut dalam keindahan tema yang disuguhkan dalam setiap perpaduan warna dan gambar. Musik relaksasi yang mengalun lembut menambah kesan bahwa lukisan yang terpajang benar benar hidup dan tampak nyata.lukisan lukisan itu lebih terlihat Seperti sebuah kejadian yang dibekukan oleh waktu yang terhenti.

Grace, Marvo dan Heryz menyebar ke segala penjuru, mencari kesenangan dan ketertarikan masing masing. Si cantik namun tomboi Grace mengambil alih lorong yang megarah ke utara, sambil memperhatikan satu persatu lukisan , bibirnya tak henti henti berkomat kamit mengulangi sebuah pesan,

" Lukisan yang berkaitan , satu untuk yang lain , yang lain tentang satu " Grace mengulang pesan dari tuan Zoune, tiga hari yang lalu Tuan Zoune meminta bantuan mereka untuk menghadiri sebuah pameran lukisan di ibukota , ia harus membeli salah satu lukisan pada acara pelelangan untuk ia pamerkan di istana miliknya, sebuah rumah mewah yang akan diresmikan minggu depan, dan lukisan itu haruslah  lukisan yang memiliki makna yang tak ternilai harganya, lukisan yang berkaitan , satu untuk yang lain, yang lain tentang satu. Begitulah yang Tuan Zoune pesankan tentang ciri ciri lukisan yang ia hendaki. Dan jika mereka berhasil menemukannya maka Tuan Zoune akan menghadiahkan mereka dengan liburan gratis ke california selama seminggu penuh. Sebuah penawaran yang akan menggiurkan siapapun.

" Aku harus pergi ke california, harus! ini hanya tugas mudah untuk  mencari sebuah lukisan, aku pasti akan menemukannya ! " Grace mengepalkan tangan penuh semagat.

Sementara itu  dilorong yang menghadap ke selatan, Heryz berdiri fokus dihadapan sebuah lukisan yang terpajang paling pojok dari lukisan lukisan yang lain, lukisan seorang wanita pengembala yang sedang berdiri dipadang rumput bersama lima ekor domba miliknya, tampak sederhana dan terlihat kurang menarik perhatian para pengunjung, tidak ada pengunjung yang berdiri terlalu lama untuk menunjukkan ketertarikannya pada lukisan tersebut. Namun selang sedetik ketika ia hendak melangkah pergi , ada wanita yang berdiri dgn jarak beberapa centi darinya. Wanita yang berpapasan degnanya didalam lift itu memperhatikan dengan begitu dalam pada lukisan dihadapannya. Semenit , dua menit kemudian ia berangsur pergi.

Diwaktu yang sama Marvo dan beberapa pengunjung lainnya, tengah berdesak desakan mengagumi sebuah lukisan wanita dari era 20an dengan rambut berwarna cokelat pendek bergelombang dengan pakaian kerajaan sedang duduk dalam sebuah tumpukan buku, disekelilingnya terdapat buku buku lain yang terbuka berserakan, sang wanita dengan wajah kelelahan meraih buku buku yang bertebaran dilantai. Dan yang membuat lukisan ini menjadi begitu nyata adalah ekspresi wajah sang wanita dalam lukisan seolah olah ia sedang menatap para pengunjung melalui sudut sudut matanya.

" Lukisan ini dibuat lebih dari lima ratus tahun yang lalu " nyonya Damenik , wanita  dengan tangan penuh cincin menyua komentar, beberapa mata menatapnya menunggu penjelasan selanjutnya.

" Inisial AV pada lukisan adalah nama dari  pelukis fenomenal tersebut, Amora Varcha " tambahnya lagi. " Aku akan membayar berapapun untuk lukisan tragis ini" wanita bulat itu berambisius,

" Tragis ?" Celetuk pengunjung lainnya dia adalah seorang Pria muda berusia dua puluh lima tahun dengan camera foto yang mengantung dilehernya, di tanda pengenal yang terjepit di dadanya bertuliskan namanya;Ferdinand Luis.

" menurut cerita , seusai menyelesaikan lukisan ini , sang pelukis dikabarkan menghilang, maksudku Whuzz ,, lenyap begitu saja !" Tuturnya, ia mengeluarkan cermin dari dompet hitam ditangannya, melihat bibir merahnya yang mulai kehilangan warna akibat ruangan yg terlalu dingin. Marvo hanya manggut manggut,

" Pasti Tuan zoune juga akan tertarik untuk membeli lukisan ini" pikir hatinya, marvo menyelip keluar dari kerumunan dn berpapasan dengan Grace, gadis itu tampak bingung ,sedari tadi ia hanya berkeliling ruangan luas itu tampak hasil apapun,  ia tak dapat melihat keindahan sebuah lukisan karena grace tak punya jiwa seni sedikitpun, ia murni mengakui itu, mengakui bahwa hati dan pikirannya hanya ditujukan untuk segala hal yang nyata masuk akal dan bisa dibuktikan melalui perhitungan perhitungan tertentu, dan seni bukan sesuatu yang dapat  dipecahkan dengan rumus. Seperti lukisan lukisan yang Ia lihat. Karena jika ia ditanya mengenai makna dari sebuah lukisan ,maka grace akan memutuskan untuk bertanya pada pelukisnya langsung.

" Aku sudah menemukannya, lukisan yang Tuan Zoune inginkan , kita bisa menghubunginya sekarang ! " Marvo bersemagat, ia menaikkan dagunya bangga.

" Masak sih ? Secepat itu ? Jangan jangan itu hanyalah lukisan biasa yang kau heboh hebohkan , kau kan juga tidak punya jiwa seni ! " Enyel grace.

" Kau mengatakan itu karena kau iri padaku,karena sebagai seorang wanita kau  tak mengerti arti keindahan sedikitpun"

Grace tersinggung , ia berharap dapat menendang perut Marvo dengan kakinya, tapi ia memutuskan untuk mengakui itu.

" Bernarkan ? , akui sajalah ! " Marvo mengucel ngucel rambut Grace, gadis itu telah melepaskan topinya beberapa saat yang lalu, ia merasa tampak bodoh memakai sebuah topi diruangan ber AC.

" Kalau begitu mana ? Tunjukan padaku lukisan itu !" Bentaknya.

" Ayo !"Dengan gesit Marvo menarik lengan kemeja blush Grace, wajah keduanya  saling menunjukkan keantusiasan.

Namun belum sempat Grace dan Marvo tiba pada lorong yang dituju, handphone disaku kemeja Marvo berbunyi, dering yang memekik membuat Marvo cepat cepat mengangkat panggilan telpon.

" Ada apa ? " Bisiknya,

" Cepat kemari , lorong yang menghadap keselatan ! " Sambung suara ditelpon, ruangan yang memang cukup luas membuat satu sama lain dapat mengalami situasi cari mencari,

" Aku baru ingin mengatakan kalau aku sudah menemukan lukisan yang kita cari !" Marvo menambahkan dengan nada bangga yang tak tertahankan.

" Katakan itu nanti saja , sekarang bergegaslah kemari ! " Telpon ditutup, Marvo dan Grace saling berpandangan ,sebuah komando telah disuarakan , diantara mereka Haryzlah orang yang bertindak paling rasional dan penuh pertimbangan, karena itu  mereka memutuskan harus bergegas meskipun tidak tahu untuk apa.

Saat memasuki lorong yang menuju keselatan , kedua remaja itu kembali berpapasan dengan wanita dalam lift, Marvo ingin menghentikan langkahnya , entah itu bertanya sesuatu atau sekedar menyapa untuk memastikan perasaannya, ia merasa ada yang ganjil dengan wanita itu sesuatu yang mungkin ia saja yang merasakannya  namun bentakan Grace melunturkan niatnya.

" Disana " Grace menunjuk sosok remaja dengan kemeja biru tua dan kaca mata tipis yang membingkai wajahnya. Dengan langkah sedikit percepat, Grace dan Marvo mendekati Posisi Haryz.

" Perhatikan lukisan itu ! " Perintah Haryz , kedua remaja kembali berpandangan. Lalu beberapa detik kemudian menuruti perintah tanpa banyak bertanya.

Tiga pasang mata menatap pada satu persegi didinding;sebuah lukisan seorang pengembala  dengan jubah merah panjang hingga lutut dan penutup kepala  yang menutupi sebagian wajahnya , dikakinya lima ekor domba mengelili , seolah olah lebih senang berada dibawah kaki majikannya dari pada melahap rumput rumput hijau  dipadang yang luas.

" Lukisan ini sederhana sekali, tidak menarik ! " Grace berkomentar. Ia merapihkan rambutnya yang berantakan karena Marvo.

" Aku menemukan lukisan yang lebih bagus dari pada ini, aku yakin  tuan Zoune juga akan tertarik untuk membeli lukisan itu saat pelelangan nanti " jelas marvo, ia mengeleng gelengkan kepalanya melihat lukisan dihadapannya, " tidak menarik, tidak menarik ! " Gerutunya.

" Menurutku ada yang tidak beres pada cerita dilukisan itu " Haryz masih menyelidik penuh kosentrasi ," tapi apa ? " Ia memekik dingin.

" Hei,, sudah sudah ! Bukan lukisan itu yang kita cari, sekarang kau harus melihat temuanku ! "

Tiba tiba Lampu disekitar lukisan berkedip, hidup dan mati untuk beberapa saat

"Hi.. Horor ah !" Grace memegang bagian belakang leher jenjangnya. Sebenarnya ia tidak takut, Ia hanya merasa sudah mulai bosan, pada kegiatan yang semula ia anggap akan sangat menyenangkan.

" Baiknya sekarang kita menghubungi Tuan Zoune saja, kita beritahu Bahwa kita sudah menemukan lukisan istimewa yang dia cari, sekalian aku ingin memperlihatkan kalian bedua wujud lukisan itu"  Marvo merangkul pundak Heryz, ia menaik kan alisnya berulang kali.

" Okelah!" Heryz akhirnya menyetuju, Ia tampak lelah menduga duga terlalu lama. Heryz mengeluarkan sebuah handphone layar sentuh dari saku celananya lalu mecari sebuah nama. " Ini , kau saja yang berbicara pada Tuan Zoune",

Setelah menerima handphone , Marvo langsung menempelkannya di telinga kiri Dan setelah menunggu beberapa saat akhirnya telpon itu tersambung juga.

" Tuan Zoune, iya, sudah ketemu, aha , benar benar luar biasa, tentu saja, " Marvo berbicara dengan wajah penuh senyum , namun tiba tiba senyumannya terlihat begitu dingin, " Oh itu, e..baiklah !" Marvo menutup telponnya. Heryz dan Grace melirik satu sama lain.

"  Ada apa ? " Heryz mengambil handphone yang diulurkan Marvo padanya, ketiganya mulai melangkah menuju tempat lukisan yang Marvo maksud terpajang.

" Tuan Zoune bertanya , apakah itu sudah benar benar sesuai dengan keinginan yang ia pesankan sebelumnya , maksudku tentang lukisan yang berkaitan , satu untuk yang lain, yang lain tentang satu " Marvo menggaruk garuk kepalanya yang tak gatal.

" Sudah ku bilang kan ,  kau tak mungkin menemukan lukisan itu dengan begitu cepat semudah menemukan gajah dalam kandangnya sendiri! " Grace menunjukkan ekspresi hinaan yang membuat Marvo menundukkan kepala.

" Benar!" Sesal marvo, " tapi mana ada lukisan seperti itu ! " Bantahnya lagi.

" Lukisan yang berkaitan, Satu untuk yang lain, yang lain tentang satu, apa maksudnya ? " Pikir Heryz, ia  menurunkan kacamatanya, mata bulat dengan bulu mata lentik dan bola mata cokelat yang ia miliki membuat ia terlihat begitu menawan untuk remaja berusia tujuh belas tahun, ditambah dengan pembawaan dingin dan postur tubuh tinggi yang begitu kharismatik, benar benar membuatnya lebih menonjol dari pada kedua temannya.

" Sudah pukul lima sore , setelah melihat lukisan yang kau maksud itu, baiknya kita segera pulang soalnya aku takut kita akan  kemalaman sampai rumah dan itu akan sangat berbahaya" Grace menujukkan tatapan yang mengarah pada Heryz, kata berbahaya yang ia maksud adalah untuk Heryz, teman pria nya yang satu ini memiliki kelemahan terhadap kegelapan malam, selain menderita rabun jauh yang kronis pada usia muda, Heryz juga tak dapat melihat apapun saat malam tiba.bahkan Ia butuh begitu banyak lampu  hanya untuk berjalan di teras rumahnya sendiri.

Marvo mengangguk - anggukkan  kepalanya dengan wajah kasian.
Kemudian...

" TARA ! " Marvo berdiri disamping sebuah lukisan dengan panjang 1,5 meter dan lebar 50 cm, kedua tangannya ia bentangkan seolah olah mempersilahkan sesuatu yg istimewa untuk hadir, " Ini dia lukisan yang ku maksud tadi, perhatikan ! Perhatikan dengan teliti !melihatnya Benar benar membuat perasaan jadi tak menentu ! " Marvo menyerocos tanpa henti.

letak dimana lukisan itu berada tidak dipenuhi pengunjung seramai sebelumnya, ada beberapa orang yang masih berada disekitar lukisan itu namun setelah berdecak kagum orang orang itupun berlalu. Kini hanya mereka bertigalah yang menikmati lukisan itu tanpa gangguan, sorot mata ketiga remaja menyelidik dengan detail seinci demi seinci polesan warna yang akhirnya merajut sebuah gambar.

" Jadi kalian bisa buktikan kalau Aku tidak bohongkan ? Lukisan ini benar benar menakjubkan " Marvo membusungkan sedikit dadanya. Heryz hanya dapat tersenyum mengiyakan. Dia telah memakai kacamatanya kembali.

" Aku tidak tahu " balas Grace.
Marvo yang semula berdiri disamping lukisan , merubah posisinya ia menyelinap ditengah tengah Grace dan Heryz.

" Kau itu memang tak paham seni, jadi rasanya pantas kalau kau tidak tahu apapun ! ". Bentaknya,

" Diamlah marvo, tutup mulutmu dulu. aku tidak sedang membalas ucapanmu ! " Grace masih fokus pada lukisan, heryz mengangkat bahunya pertanda bahwa bukan dirinya yang memancing kata kata itu keluar dari mulut grace. Marvo tergelak, Ia menyentikkan jarinya di wajah Grace.

" Lalu ? " Marvo  menatap Grace lekat lekat. Grace mengangkat tangannya ia menunjuk pada lukisan.

" Ulala,sekarang Nona alam nyata mulai meninggalkan kedudukannya, " Marvo menggerak gerakan jarinya secara bergantian , membuat ekspresi seseram mungkin " Hoho , dan  kini dia sedang berbicara dengan sebuah lukisan "  Grace menoleh dengan cepat pada Marvo , ditutupnya wajah marvo dengan topi yang sedari tadi menggantung diikat pinggangnya.

" Berisik ! " Omel Grace. " Aku hanya merasa sorot mata wanita dalam lukisan itu seolah olah sedang  bertanya padaku, dimana Benda itu aku disembunyikan ?"

" Wuahaha ! " Marvo tertawa, riuh sekali. Dan saat itu pula nyonya damenik muncul dari kelokan lorong yang lebih dalam.  Sambil berjalan melintasi ketiga remaja, nyonya damenik menyempatkan diri untuk menghardik.

" Kecilkan tawamu itu bocah ! " Ketus nyona damenik, " ini sebuah pameran lukisan , bukan pertunjukkan sirkus keliling "

Marvo membungkam, ia tertunduk malu dan sedikit kesal ,
" Huh , dasar orang kaya " gerutunya. " Aku memang tertawa cukup keras , tapi aku bukan bocah! "

" Kita pulang sekarang saja " Heryz menarik tangan kedua temannya, " masalah lukisan yang Tuan Zoune cari kita minta maaf saja padanya karena tak dapat membantu menemukannya " ucap Heryz. Grace dan Marvo mengangguk serempak. " Dan sekarang kalian juga dapat mulai mengucapkan selamat tinggal untuk california " tambahnya lagi, Kata kata heryz membuat kedua temannya bersungut sedih.

Selang beberapa detik Ketiga remaja sudah mulai melupakan kesedihannya dan mulai berjalan menuju pintu kaca, satu satunya jalan untuk masuk dan keluar , mereka berulang kali berpapasan dengan banyak pengunjung, tampaknya lima puluh persen dari pengunjung yang hadir sudah meninggalkan ruang pameran, dan mereka juga akan melakukan hal yang demikian,  sepintas mereka sempat melihat bagian ruangan koridor dikiri mereka  dengan dinding kaca yang memperlihatkan  kota dari ketinggian lantai dua puluh empat. Untuk beberapa saat Grace menarik mereka mendekati dinding kaca. Gorden yang menyelimutinya telah tersibak lebih dulu.

" Keren ! " Batin Grace, ini pertama kalinya ia melihat tampilan kota dari ketinggian yang tak ia bayangkan. Ia hendak menyenggol tubuh Marvo, memasang wajah manis untuk dimintakan mengambil fotonya dengan latar belakang kota yang ia kagumi itu ,  Namun sesuatu mendadak terjadi, lampu didalam ruangan tiba tiba mati, anehnya lampu itu mati dengan pola yang berurutan dimulai dari tengah ruangan ditempat mereka berdiri lalu menjalar kesetiap lorong hingga akhirnya berhenti ketika lorong  membuntu. Semua pengunjung yang tersisa tampak gerasa gerusu dan penuh dengan ocehan , dan ketika lampu menyala kembali, sesuatu yang tak disangka sangka telah berlaku, dua buah lukisan menghilang ...  

Terlihat beberapa orang berseragam berlari keberbagai arah, orang orang itu menunjukkan ekspresi wajah yang berbeda beda, panik dan cemas yang dipadukan dengan kelakuan tergesa gesa. Melihat kegaduhan yang muncul Heryz , marvo dan Grace tergetar untuk mencari tahu. Mereka mengikuti kemana asal keributan, atau lebih tepatnya menuju kearah tempat kejadian perkara.

Alangkah terkejutnya Mereka ketika mendapati bahwa dua lukisan yang menghilang adalah lukisan wanita dari era 20an dan lukisan wanita pengembala. Kedua duanya adalah lukisan yang sempat menjadi pusat perhatian mereka.

Heryz melangkah mendekati dinding kosong yang sebelumnya terpajang sebuah lukisan pengembala, kakinya menginjak sebuah benda keras yang sedikit lunak, Heryz berjongkok, memungut benda tersebut; sebuah tanda pengenal yang sama percis dengan yang mereka miliki. Namun ketika Heryz ingin menunjukkan temuannya pada para staff yang semakin panik, beberapa petugas keamanan justru menggiring mereka serta pengunjung lainnya untuk menjauh dari lokasi, mereka dikumpulkan dikoridor, tersisa empat puluh dua orang dari seratus dua puluh pengunjung. Diruangan itu mulut semua orang tak berhenti mengoceh , membicangkan dua lukisan yang mendadak hilang.

" Kalau seperti ini, bukan hanya lukisan yang akan menghilang " Grace mengoceh, " tapi juga kesempatan kita mendapatkan bis untuk pulang !" Keluhnya.

Petugas keamanan mengambil alih situasi, ia berbicara dihadapan seluruh pengunjung dengan berwibawa.
" Dua buah lukisan menghilang, setiap orang yang ada disini akan melakukan pemeriksaan berkala untuk dimintai  keterangan, jadi  mohon kerjasamanya "

Setelah mengatakan hal itu , ruangan kembali riuh , para pengunjung di izinkan untuk pulang setelah terlebih dahulu memberikan informasi tentang identitas masing masing, hal itu berguna untuk membantu penyelidikan , sebab hari yang menjelang malam tidak memungkinkan untuk melakukan interogasi kepada empat puluh dua orang saat itu juga.

Grace , Marvo dan Heryz sampai pada sebuah lift mereka memutuskan untuk bergerak paling akhir, dengan begitu mereka dapat keluar dari ruangan dan menaiki lift tanpa perlu berdesak desakan dengan yang lainnya.  heryz menekan tombol, menunggu sebuah lift yang bergerak turun berhenti, tapi sekonyong konyong menunggu , Marvo tiba tiba berlari meninggalkan Grace dan Heryz , menuju sebuah sudut  Dan  Selang beberapa menit  Marvo kembali dengan nafas tersengal sengal.

" Aku pikir aku melihat sesuatu berjalan kesana " ucap Marvo" sosok serba hitam !" Jelasnya, " dan disudut itu ternyata tempat pintu tangga darurat berada !"

" Kau lelah dan lapar, pikiranmu kacau sehingga kau berkayal telah melihat hantu ! " Ucap Grace.

" aku tak bilang itu hantu, aku hanya bilang sosok hitam !" Marvo menyakinkan, " dan berjalan dengan cepat sambil membawa sesuatu " tambahnya lagi.

Heryz ingin menanggapi namun Pintu lift yang terbuka mengurungkan niatnya.
" Nanti saja kita bahas sosok hantu hitam itu,sekarang kita harus buru buru, atau nanti kalian harus bergantian menjadi mata untukku ! " ,

Kedua remaja itu mengerti, mereka lalu segera masuk kedalam lift dan menekan tombol lantai satu, tidak ada pembicaraan yang perlu mereka bahas, ketiga remaja tampak sangat lelah sementara perjalanan untuk sampai kerumah masing masing masih sangat jauh, rumah ketiganya berada dipesisir pantai jauh dari pusat ibukota , dan butuh waktu kurang lebih empat jam untuk dapat tiba dan beristirahat. Itupun jika mereka dapat menemukan bis yang masih melaju kesana. Tapi sayangnya Bis terakhir  baru saja pergi....

" Ugh ,, maling sialan ! " Omel grace," pencurian yang ia lakukan  membuat kita tertahan di pameran itu"  Grace menghentakkan kakinya di aspal jalan, Ia begitu kesal karena harus kehilangan bis terakhir.

" Kau yang membuat kita ketinggalan bis" bantah marvo, " kau ketoilet terlalu lama ! "

" Hei , kau juga ketoilet tak kalah lama dari ku ! " Grace bersikeras.

" Teman teman , hentikan ! " Heryz memohon, " kalian berdua sama sama  bersalah karena pergi ketoilet lebih lama dari waktu yang kalian janjikan padaku ! " Heryz melepaskan kacamatanya. " Tapi bukan itu masalah yang harus kalian perdebatkan ! Lihatlah , aku sudah tidak bisa melihat apa apa lagi sekarang , dan yang lebih buruk lagi bagaimana kita akan kembali kerumah ? " Heryz kelihatan meraba raba sekelilingnya, matahari telah terbenam satu jam yang lalu dan itu mulai menjadi petaka baginya. Grace dan Marvo tersadar , masing masing memegang bagian tangan Heryz. Sambil tetap saling mencibir dalam diam keduanya memopong Heryz untuk berdiri diantara mereka. Mereka duduk dengan lemas di halte bis, putus asa.

" Kenapa kita tidak menelpon tuan Zoune saja, keberadaan kita bukankah tanggung jawabnya juga ?" Grace berpendapat. Marvo menyetujui.

" Handphone , handphone, " Marvo meraba saku Heryz , mencari handphone miliknya. Hanya Heryz satu satunya yang menyimpan nomor telpon tuan Zoune.

" Loh, apa ini ? " Marvo terkejut ketika tangannya justru menemukan benda yang lain , sebuah tanda pengenal.

" Dandelin Amoira V. "Eja Marvo," seperti  pernah dengar " ia melirik Heryz yang menatap keberbagai arah tanpa dapat melihat apapun.

" Itu kutemukan di dekat lokasi dimana Lukisan yang hilang, lukisan pengembala !" Jelas Heryz.

Marvo masih mengingat ingat, sementara Grace sibuk menekan tombol pada handphone Heryz.

" A,, tentu saja , hampir mirip ! " Marvo memekik ,

TIN ,, TIN,, terdengar suara klakson dibunyikan , sebuah mobil hitam dengan nomor flat 1111Z berhenti tepat didepan halte, seseorang melangkah keluar dari kursi pengemudia, Ia melambai dan memberikan salam pada ketiga remaja yang ia kenal.

" Apakah kalian ketinggalan Bis terakhir ? " Pria berusia empat puluh lima tahun , dengan badan tegap, dan kemeja hitam liris liris, berjalan mendekati ketiga remaja. Ia tersenyum namun kumis tebalnya menyembunyikan senyum ramahnya.

" Oh kau , Pak Hermed ! " Grace Berteriak senang, " Bagaimana kau bisa ada disini ?" Tanyanya. Hermed adalah asisten pribadi Tuan zoune , mereka pernah bertemu dengannya sekali, itupun saat mereka berkenalan dengan Tuan zoune tiga hari yang lalu

" Bagaimana aku bisa ada disini ?" Hermed mengulang kalimat grace, " oh lucu sekali ! " Hermed tertawa kecil, "selain asisten pribadi  aku juga supir, tugasku adalah mengantarkan penumpangku kemanapun ia mau, jadi tidak hanya disini, mungkin kalian akan sering bertemu denganku diberbagai tempat " jelasnya. "Dan Aku baru saja mengantarkan Tuan Zoune ke bandara , ia akan terbang ke venezuela malam ini " Hermed berbisik di telinga Grace ." urusan bisnis " terangnya.

" Apakah sekarang kau juga dapat mengantarkan kami pulang ? " Marvo memelas, tangannya tetap menggenggam erat lengan Heryz , ia ingin Heryz selalu yakin bahwa ia akan tetap berada disampingnya.

" Tentu saja, aku pikir tuan Zoune juga menginginkan demikian , " Hermed mempersilahkan" mari !" Ia membukakan pintu mobil dengan sopan. " Jika aku berkendara dengan kecepatan seratus dua puluh  kilometer perjam, kita pasti akan sampai dalam waktu kurang dari tiga jam " ia menyakini.

" Oh, terima kasih ! " Grace tersenyum , " kau baik sekali pak Hermed" Grace melangkah kemobil.

" Jangan lupakan aku Grace ! " Ucap Heryz , ia menyodorkan lengan kanannya, Grace memukul jidatnya.

" Apa yang terjadi pada teman kalian ?Apa Heryz membuta ?" Hermed menatap khawatir.

" Membuta yang kau maksud mungkin akan  lebih tepat jika dikatakan tidak dapat melihat apapun untuk waktu waktu tertentu ! " Marvo membenarkan , Ia bersama grace membimbing Heryz kedalam mobil Marcedes benz yang dikemudikan Hermed, ketiga remaja duduk dikursi belakang. Sebab dikursi depan terdapat sebuah peti besi berwarna kecoklatan , ada ukiran simbol simbol aneh yang mengelilinginya, peti itu ber ukuran cukup besar. Grace dan Marvo yang melihatnya merasa  tidak perlu bertanya karena mereka yakin itu bukanlah sesuatu yang pantas mereka usik,  Urusan orang lain.

Mobil melaju dengan kencang , menembus sorotan sorotan lampu jalan yang berkilauan,  Hermed tampak fokus pada setir dan jalan raya namun sesekali ia terlihat mencuri pandang pada Heryz melalui kaca spion yang ada didalam mobil. Ia sedang menyelidiki lelaki itu.

" Pak Hermed !" Panggil heryz tiba tiba, sontak membuat hermed terkejut.

" Ada apa ? " Sahutnya,

" Menurutmu kenapa tuan Zoune meminta kami untuk menemukan lukisan yang ia inginkan ?, kenapa dia tidak menemukannya sendiri dan melihat langsung seperti apa lukisan yang ia mau !" Heryz bertanya, grace dan Marvo memasang telinga dengan seksama untuk jawaban itu.

" Tuan zoune tidak bisa melakukan itu , ia tidak dapat melihat keindahan suatu lukisan " jelas hermed

"Sama sepertiku ya ? " Grace menunjuk dirinya.

" Apa kau juga buta warna ? " Tanya hermed,

" Jelas Tidak !" Bantah Grace cepat , " tapi , apa itu artinya Tuan Zoune menderita buta warna ? "

Hermed mengangguk , " Hmmm,,seperti itulah kira kira !"

" Kasihan sekali dia ! "Grace  mengelus dadanya,

"Lalu Apa yang terjadi pada mata mu ,Haryz ? " Hermed memandang Heryz melalui kaca spion,

" Ini seperti rabun senja yang akut !, aku sudah pernah cek kedokter namun belum dapat menyembuhkannya " Heryz memicing micingkan matanya, yang dapat ia lihat hanyalah kilauan kilauan cahaya yang menyalak nyalak dan melintas lintas dengan cepat.

" Amoira dan Amora , bukankah hampir mirip?" Tiba tiba Marvo menyeletuk dengan pembahasan yang sedikit melenceng, Ia menyikut pundak Heryz " Kau tahu lukisan yang hilang itu , lukisan wanita dari era 20 seingatku  nyonya kaya yang ketus itu mengatakan nama pelukis lukisan itu adalah Amora Varcha" jelasnya , marvo menatap keluar kaca jendela mobil. Memcoba membuat suatu kesimpulan yang masih berkaitan dengan kedua nama, Amoira dan Amora. Hatinya menyakini sesuatu dengan kedua nama itu. Dan ia percaya pada hatinya.

" Apakah aku tidak salah , barusan kau mengatakan Lukisan yang hilang ? , apa telah terjadi sesuatu ? " Tanya hermed , ia tampak begitu ingin tahu.

" Ya, Dua buah lukisan menghilang , aneh sekali ! " Grace menjelaskan . " Dan kemudian sosok hitam muncul , haha " Grace meledek Marvo, ia tertawa ringkih.

" Sosok hitam ? seperti hantu?" Selidik hermed. Matanya menunjukan kilatan tajam.

" Bukan ! Aku yakin itu manusia, manusia dengan pakaian serba hitam dan melintas  cepat tanpa suara lalu masuk ke pintu tangga darurat " jelas Marvo , ia menghela nafas ," atau mungkin hantu yang melayang menembus pintu " gumannya.

***

Langit gelap , sekonyong konyong bulan purnama bersinar tanpa noda, sebuah benda besi melesat  di udara , menembus awan awan kelabu dengan  membawa sekitar seratus penumpang yang mulai terlelap tidur.  Sang kapten masih siaga dengan komandonya atas pesawat yang ia kemudikan. Sementara para pramugari berjalan jalan dari satu kabin ke kabin yang lain mengontrol apakah ada penumpang yang membutuhkan sesuatu. Dari kelas bisnis, Seorang wanita melambaikan tangan meminta sang pramugari menghampirinya.

" Tolong berikan aku segelas kopi, pahit dan panas !" Pintanya.
" Baik nona, mohon menunggu sebentar " sang pramugari meninggalkan wanita itu dengan sebelumnya tersenyum ramah.
Sementara sang nona melirik pada Pria tampan yang memejamkan mata disampingnya.

" Kau masih terjaga Dandelin ? " Pria itu berbisik.

" Hmm..." Sang wanita yang mendengar namanya diucapkan melirik sejenak , " istirahatlah Zoune , perjalanan kita masih panjang" dandelin mengelus kepala pria yang bersender dibahunya. " Selamat malam " bisiknya lagi.

Dandelin Amoira V. menyenderkan kepalanya di sandaran kursi, ia tengah mencari ketenangan untuk dapat mengingat suatu hal, sebuah persoalan atau lebih tepatnya sebuah kenangan yang beberapa jam lalu menjejali otaknya tentang suatu tujuan .

" Benarkah itu kau Varcha , kau muncul kembali ? " Dandelin mengatupkan bibirnya , " kau akan segera aku singkirkan , secepatnya ! " Ia bersungut namun wajahnya sama sekali tak memancarkan ekspresi apapun, Pramugari yang membawakan sebuah tampann berisi segelas kopi menghampirinya.

" Apa ada hal lain yang anda butuhkan ? " Pramugari bertanya ramah,

Dandelin menggeleng ." Terima kasih ! " Ucapnya. Saat pramugari berlalu Dandelin dengan cepat mengeluarkan sebuah botol kaca tertutup dari tas kecilnya, menumpahkan sebutir kapsul dari botol tersebut lalu memasukkannya kedalam mulutnya, dan dengan segera menggunakan kopi ; pahit dan panas untuk memperlancar kapsul itu di kerongkongannya. Dandelin menutup wajahnya menahan nyeri.

" Bodoh ! " Ia mendesis, " bahkan sekarang pun aku dapat menyingkirkanmu , kau ; Varcha dalam wujud remaja !" Dandelin memekik dalam hatinya , ia mengambil sebuah kertas memo lalu menulis beberapa pesan .setelah itu menyelipkannya dengan lembut disaku jas Zoune , Pria itu mulai terlelap semakin dalam.

" Aku akan mencarinya sendirian, jadi Jangan mencariku !" Bisik dandelin, ia menyingkirkan selimut yang membalut tubuhnya , mengemas seluruh barang yang ia bawa dan berjalan meninggalkan kursinya tanpa pernah kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar